ISI

POLEMIK PERPPU ORMAS


23-July-2017, 11:10


JAKARTA – Derasnya arus penolakan di berbagai daerah terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2017 (PERPPU Ormas), memperlihatkan sejatinya regulasi yang level dan hierarki-nya setara dengan Undang-Undang tersebut memiliki aroma ‘kontroversi’ yang menimbulkan polemik, perdebatan serta ketidakpastian di masyarakat.

Perppu Ormas yang dirilis pada Rabu, 12/07/2017 dinilai banyak kalangan mencederai kehidupan negara hukum yang demokratis, yang telah dijaga dan dijalankan selama ini pasca reformasi.

Meninjau polemik perppu ormas yang kontroversi dan menimbulkan perdebatan di masyarakat kiranya hal tersebut dapat dijawab dan dikritisi melalui beberapa catatan berikut :

Catatan Pertama, bahwa sejatinya cukup beralasan asumsi dan anggapan sebagian pihak yang khawatir dan ‘takut’ akan implementasi serta jangkauan dari perppu ormas tersebut, yang dinilai akan mengancam dan ‘memberangus’ hak konstitusional dari setiap warga negara yang dijamin di dalam konstitusi. Mengapa demikian ?

Sebab, memang dapat dilihat secara ‘gamblang’ dan kasat mata bahwa Perppu ormas yang dikeluarkan oleh pemerintah sejatinya tidak mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijamin oleh pemerintah terhadap setiap warga negara.

Prinsip-prinsip tersebut tentunya terkait dengan hak kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E ayat (3), yang juga tercantum di dalam konsideran (point menimbang) dari UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).

Secara substansial apabila dilihat di dalam beberapa ketentuan yang ada di dalam Perppu Ormas secara nyata telah membatasi hak konstitusional warga negara yang dijamin di dalam konstitusi.

Penerapan dan jangkauan dari Perppu Ormas ini, tentunya dapat dikritisi sebagai langkah mundur dan terbelakang (forward looking) dalam kehidupan demokrasi, yang secara jelas tidak sejalan serta sangat jauh dari cita reformasi dan tujuan negara hukum itu sendiri.

Catatan Kedua, yang juga masih terkait dengan point sebelumnya, dapat dilihat bahwa Perppu Ormas yang telah dirilis oleh Pemerintah, sejatinya juga tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum sebagaimana dijamin di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa ketentuan di dalam Perppu Ormas yang telah ‘memangkas’ dan ‘mengenyampingkan’ proses dan prosedur hukum dalam konteks pembekuan/pembubaran suatu organisasi kemasyarakatan (ormas).

Di dalam Perppu Ormas tersebut, dapat dilihat bahwa sejatinya prosedur pembubaran ormas sudah dipangkas sedemikian rupa, sebagaimana yang ada sebelumnya di dalam Pasal 60 – Pasal 82 UU Ormas.

Di dalam Perppu Ormas, pemerintah melalui Menteri urusan terkait (Mendagri atau Menkumham) dapat secara langsung dan serta merta memberikan penjatuhan sanksi administratif berupa pencabutan status badan hukum terhadap suatu ormas tertentu yang dianggap bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945, yang didahului dengan sanksi administratif lainnya berupa peringatan tertulis dan penghentian kegiatan.

Dalam hal ini tentu akan sangat nyata terlihat bahwa Pemerintah dalam posisi dan penilaian subjektif memiliki kewenangan yang absolut dalam ikhwal pembekuan/pembubaran ormas, sebab pemerintah tidak perlu lagi mendasarkan ataupun menunggu proses hukum yang berjalan di pengadilan hingga putusan (vonis) akhir yang inkracht (legally binding). Hal mana yang justru sangat mencederai due process of law dalam kerangka negara hukum.

Senyatanya pada point ini, dominasi Pemerintah yang secara konkrit terlihat dari subjektivitas pemerintah dalam hal penjatuhan sanksi terhadap suatu ormas tertentu, memperlihatkan bahwa sejatinya pemerintah telah overlapping dan lupa akan peranannya dalam konteks ‘pencatatan’ dan/atau ‘pengesahan’ suatu organisasi kemasyarakatan (ormas), yang seharusnya hanya bersifat pasif dan tidak keluar dari domain ‘administratif’.

Dalam polemik ini, tentu sangat terasa arogansi pemerintah yang cenderung tidak demokratis dan mengabaikan due process of law dalam hal pembekuan/pembubaran ormas. Idealnya, cara pandang dan nalar berpikir yang ada di dalam Perppu Ormas diberlakukan dalam negara kekuasaan (machstaat) yang cenderung otoriter (totalitarian).

Secara objektif, tentunya apabila membandingkan proses dan prosedur pembekuan/pembubaran ormas yang ada di dalam Perppu Ormas, yang senyatanya sangat ringkas, padat dan cepat hingga akhirnya dapat mencabut status badan hukum terhadap suatu ormas, tanpa didahului putusan pengadilan yang inkracht, pada prinsipnya tidak akan dapat menjamin kepastian dan akan sangat mencederai keadilan bagi para pihak – pihak yang ada di dalamnya.

Justru sebaliknya proses dan prosedur yang ada di dalam UU Ormas sebelumnya yang memang cukup panjang (alot), memakan waktu yang lama serta dinilai oleh pemerintah tidak efektif dan bertele-tele, akan sangat mampu untuk menjamin kepastian hukum di dalam proses penjatuhan sanksi bagi suatu ormas tertentu, yang akhirnya dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak.

Hal tersebut tentu dapat dilihat dan diuji, dikarenakan pengaturan mengenai ikhwal pemberian sanksi hingga pembekuan suatu ormas tertentu di dalam UU Ormas sebelumnya telah diatur secara rigid, komprehensif dan di proses secara bertahap, bertingkat dan berjenjang serta melalui proses hukum di pengadilan terlebih dahulu, hingga barulah pada akhirnya Pemerintah dapat mencabut status badan hukum terhadap suatu ormas tertentu.

Artinya, point penting dari terbitnya Perppu Ormas secara materiil, tidak saja membatasi kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang merupakan bagian dari HAM sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, namun juga tidak relevan dengan prinsip dasar negara hukum, due process of law, sebagaiamana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945.

Selanjutnya juga catatan terakhir, yang takkala penting untuk dikritisi, ialah terkait dengan prasyarat konstitusional lahirnya Perppu Ormas, yang secara prinsip tidak memenuhi syarat konstitusional terkait dengan unsur ikhwal ‘kegentingan yang memaksa’ sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Lebih lanjut tafsir mengenai ikhwal ‘kegentingan yang memaksa’ juga dapat dilihat di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 38/PUU-VII/2009, di mana secara limitatif disebutkan 3 (tiga) prasyarat, yaitu; adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU.

Tentu, dengan melihat batasan sebagaimana yang ada di dalam putusan MK tersebut, dan juga dengan mendasarkan pada alasan pemerintah dalam menerbitkan perppu ormas yang mengatakan bahwa belum adanya mekanisme pengaturan yang komprehensif tentang pemberian sanksi yang efektif, sehingga terjadi kekosongan hukum dalam konteks pembekuan /pembubaran ormas, maka dapatlah disimpulkan bahwa syarat konstitusional dalam penerbitan sebuah Perppu tidaklah terpenuhi.

Hal tersebut, tentu secara jelas terlihat dikarenakan tidak ada suatu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara cepat berdasarkan undang-undang, toh di dalam UU Ormas telah mengatur secara rigid prosedur pemberian sanksi terhadap suatu ormas. Katakanlah ada sebuah ormas yang memang mendesak dan secara cepat harus dibubarkan, akan tetapi tentu pemerintah dapat mendahulukan langkah dan jalan lainnya yang legal dan konstitusional, serta taat dan patuh terhadap prosedur hukum yang telah ditentukan di dalam UU Ormas sebelumnya, tanpa dan harus menerbitkan Perppu yang inkonstitusional.

Selain itu juga, kondisi faktual yang ada, yang juga menunjukan bahwa tidak adanya kekosongan hukum dan/ataupun sebuah regulasi setingkat Undang-Undang yang belum memadai di dalam polemik ini, secara nyata UU Ormas telah mengatur secara komprehensif ikhwal penjatuhan sanksi terhadap suatu ormas.

Dan juga terkait dengan kekosongan hukum yang terjadi dan lantas tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU. Dalam hal ini juga secara nyata dapat dilihat bahwa selain tidak terjadinya sebuah kondisi kekosongan hukum terkait polemik ini, juga senyatanya andaikata pemerintah ingin melakukan perubahan (revisi) terhadap UU Ormas, maka hal tersebut juga sangat mungkin dilakukan dengan prosedur normal, sebab saat ini lembaga legislatif tidak dalam masa reses dan sedang dalam masa aktif (bersidang), artinya prosedur normal revisi terhadap UU Ormas menjadi satu opsi yang sangat relevan, mengingat tidak ada urgensi ikhwal kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan sebuah peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) setingkat Undang-Undang.

Oleh : Ahmad Yani, S.H., M.H.

Penulis ialah Kandidat Doktoral Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Anggota Komisi III DPR RI Periode 2009 – 2014. Founder dan Researcher Pada Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa (P3B).

Bagikan ke :
Share on Facebook Share on Google+ Tweet about this on Twitter Email this to someone Share on LinkedIn Pin on Pinterest

BERITA TERKINI

INVESTIGASI

BERITA SEBELUMNYA

BANYU ASIN 1-May-2024, 11:08

TAK TERIMA ISTRI CETAK KTP MALA NGINAP DI HOTEL 

MUBA - 1-May-2024, 09:24

Jalan Talang Mandung Telah Diperbaiki, Warga Berterima kasih 

LAHAT - 1-May-2024, 08:00

 PT SMS Berikan Bantuan Alber Untuk Membuka Akses Jalan Ditiga Desa

LAHAT - 30-April-2024, 21:27

Polres Lahat, Polda Sumsel Team Asistensi ZI Mabes Polri 

LAHAT - 30-April-2024, 21:25

Kedatangan YM, Kaum Hawa Palembaja Berebut Berfoto Calon Bupati Lahat

LAHAT - 30-April-2024, 20:59

Hj. Lidyawati S.Hut, MM Akan Maju di Pilkada Muara Enim 

OKU - 30-April-2024, 20:46

Ormas Pemuda Pancasila Meminta Dengan Tegas Agar Dishub OKU Tertibkan Parkir dan Pungutan Yang Dianggap Ilegal dan Liar.

MUARA ENIM - 30-April-2024, 20:33

Lidyawati Cik Ujang “Bertarung” di Pilkada Muara Enim, Sudah Kembalikan Formulir ke PAN 

PALEMBANG - 30-April-2024, 19:16

Komplotan Pelaku Jual Beli Akun WhatsApp untuk Judi Online di Palembang Diringkus Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Sumsel 

PALEMBANG - 30-April-2024, 15:59

Pj Bupati Sandi Fahlepi Hadiri Musrenbang RKPD Sumsel Tahun 2025 

MUBA - 30-April-2024, 13:16

Pemkab Muba Beri Kontribusi Besar untuk Warga Nahdlatul Ulama 

MUBA - 29-April-2024, 23:59

Pj Bupati Sandi Fahlepi dan Ribuan Warga Muba Nobar Timnas 

LAHAT - 29-April-2024, 23:45

Pendopoan Bupati Lahat Jadi Lautan Manusia Nobar Semifinal Piala Asia U 23

BANYU ASIN 29-April-2024, 21:40

PJ BUPATI BANYUASIN MELEPAS PESERTA JALAN SANTAI 

LAHAT - 29-April-2024, 21:37

Ratusan Massa Barisan Muda Lahat dan Front Pemuda Lahat Bangkit Geruduk Pemkab Lahat 

LAHAT - 29-April-2024, 20:59

Pelaku Curas DPO Antar Provinsi, Berhasil Diungkap Polsekta Lahat 

BANYU ASIN 29-April-2024, 20:25

HANI SYOPIAR RUSTAM TEBAR BENIH IKAN DI SUNGAI BOOM BERLIAN 

BANYU ASIN 29-April-2024, 20:23

Waw.!!! Hampir 1.000 Warga Dari Berbagai Kecamatan Nyatakan Dukungan Untuk YM 

OKU - 29-April-2024, 19:49

Selain Sosialisasi Manfaat Makan Ikan, 120 Paket Makanan Olahan Ikan Dibagikan Saat Acara GEMARIKAN Kabupaten OKU

MUBA - 29-April-2024, 19:23

Pj Bupati Sandi Fahlepi Ajak Birokrat Muba Tingkatkan Kolaborasi, Jauhi Kompetisi 

BANYU ASIN 29-April-2024, 15:19

Hj DIANA KUSMIlA AMBIL FORMULIR DI DPC PARTAI PAN 

MUBA - 29-April-2024, 12:29

Rutin Keliling Desa di Muba, Banyak Libatkan Generasi Muda 

MUBA - 29-April-2024, 11:49

Sandi Fahlepi Ungkap Butuh Support dan Kerjasama yang Baik untuk Membangun Muba 

OKU - 29-April-2024, 11:43

Dalam Apel Gebyar Bakti Penyulang, Senior Manager Distribusi dan Manager PLN UP3 Lahat Menyampaikan Hal Penting Untuk Personil PLN ULP Baturaja, Begini Pesannya ..

BANYU ASIN 29-April-2024, 09:51

LIMA DESA KECAMATAN MUARA SUGIAN AKAN DI BANGUN

CATATAN SRIWIJAYA

  • Catatan Sriwijaya 26-November-2023, 22:50

    DETERMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM

    Oleh Burmansyahtia Darma,S.H.

    Muara Enim - Pemilihan Calon Legislatif atau yang trend nya Calon Anggota D

APA dan SIAPA

FACEBOOKERS SRIWIJAYA ONLINE