ISI

CATATAN RIO CK : MENYOAL PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI IKHWAL ALIRAN KEPERCAYAAN


7-December-2017, 10:57


Jakarta – Beberapa waktu terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat sorotan yang cukup tajam, pasca memutus ikhwal penganut aliran kepercayaan, di mana bagi penganut aliran kepercayaan (penghayat) yang ada di seluruh wilayah Indonesia setelah putusan MK tersebut, akan mendapatkan akses layanan publik yang sama dengan warga negara (beragama) lainnya.

Putusan MK menyatakan bahwa ‘status penghayat kepercayaan’ dapat dicantumkan dalam kolom agama pada Kartu Keluarga dan KTP elektronik tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.

Sebelumnya, ketentuan yang berlaku (ada) ialah bagi penganut aliran kepercayaan ‘dikosongkan’ pada kolom agama/kepercayaan yang dianut, namun tetap dilayani dan dicatat dalam databese kependudukan.

POKOK UJI MATERI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Adapun permohonan constitusional review yang diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim yang mewakili komunitas penganut aliran kepercayaan di Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menggugat ketentuan yang ada di dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Adapun alasan dan latar belakang dari para penggugat (pemohon) uji materi UU Administrasi Kependudukan tersebut, dalam uraiannya mengemukakan bahwa ketentuan yang memerintahkan agar mengosongkan kolom agama bagi penganut kepercayaan, merupakan bentuk nyata ‘keengganan’ negara mengakui keberadaan mereka, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mereka mendapat perlakukan yang diskriminatif.
  
Adapun beberapa konsekuensi yang dirasakan oleh komunitas penganut aliran kepercayaan dari pengosongan kolom agama di KTP ialah kesulitan yang dialami dalam memperoleh akses publik dalam kehidupan sosial masyarakat.

Konkritnya, para penganut aliran kepercayaan kesulitan memperoleh pekerjaan, proses pernikahan yang tidak diakui negara – sehingga anak-anak (keturunannya) tidak mendapat akte kelahiran dan kartu keluarga yang menyebabkan sulit untuk memperoleh (akses) pendidikan. Selain itu juga sering dianggap sebagai penganut aliran sesat, sehingga tidak diterima jika dimakamkan di pemakaman umum.

Terkadang penganut aliran kepercayaan harus (berbohong) memilih salah satu agama dari 6 (enam) agama yang diakui di Indonesia, demi mendapatkan status kewarganegaraan yang valid dalam administrasi kependudukan.

PERTIMBANGAN DAN PUTUSAN MK
Seiring proses persidangan yang berjalan di MK, dalam uraian dan pertimbangan utama putusannya MK menilai bahwa kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagaimana dijamin dan diatur di dalam konstitusi haruslah dipandang sebagai sebuah hak konstitusional serta bukan merupakan pemberian agama.

MK juga dalam pertimbangannya berpegang dan berpedoman pada Piagam Duham dan Konvenan Internasional tentang hak-hak sosial dan politik yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, beragama dan berkeyakinan, dan kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan.

MK berpandangan bahwa perbedaan pengaturan (pengosongan kolom ‘agama’ bagi penganut aliran kepercayaan) dalam hal pencantuman elemen data penduduk tidak didasarkan pada alasan yang konstitusional. MK selanjutnya menyatakan bahwa pengaturan tersebut telah mendiskreditkan dan mendiskriminasi warga negara penganut (penghayat) aliran kepercayaan dalam mengakses pelayanan publik.

Oleh karenanya MK memutuskan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan ‘inkonstitusional’ dan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

ISU KRUSIAL
Melihat putusan MK yang senyatanya bersifat final and binding, secara langsung menimbulkan reaksi dan gejolak yang cukup massive dari berbagai stakeholder terkait. Rasanya perlu menjadi catatan dan patut untuk dikritisi ialah terkait dengan proses uji materi undang-undang tersebut, di mana minimnya ruang publik dan stakeholder keagamaan terkait (lintas agama) untuk berpartisipasi dalam arti memberikan input (pendapat) dan menanggapi perdebatan di dalam proses uji materi yang berlangsung.

Seharusnya MK perlu menginsyafi bahwasannya pesoalan mengenai ‘penganut aliran kepercayan’ merupakan sebuah hal yang sangat sensitif dan berpretensi besar menimbulkan gejolak di masyarakat. Sehingga, sudah sepatutnya mengakomodir kepentingan para pihak lainnya, atau dalam hal ini element masyarakat ber(agama).

Andaikata, MK membuka ruang partisipasi publik yang seluas-luasnya pada saat proses uji materi tersebut dilakukan, tentu hal tersebut akan dapat mengurangi atau setidak-tidaknya meminimalisir kontroversi yang terjadi.

Proses persidangan yang lebih kurang 1 (satu) tahun lamanya sejak uji materi tersebut didaftarkan (teregister) di MK, tidak dijadikan sebagai kesempatan untuk memberikan ruang dan waktu bagi semua pihak, baik yang pro dan kontra, dalam menanggapi perkara uji materi tersebut.

Selanjutnya, secara substantif terkait dengan materi permohonan dari penganut aliran kepercayaan (non-agama), pada prinsipnya MK juga telah keliru menempatkan kedudukan ‘aliran kepercayaan’. Dalam hal ini MK secara ekstensif memandang bahwa penganut aliran (penghayat) kepercayaan merupakan domain yang setara (sebanding) dengan agama.

Kekeliruan inilah yang sejatinya berpretensi menimbulkan perdebatan dan konsekuensi lanjutan yang panjang serta berlarut-larut. Tanpa bermaksud untuk lebih jauh menanggapi isu krusial dalam perdebatan ini, yakni terkait dengan hal – hal sensitif mengenai essensi ajaran agama ataupun aliran kepercayaan, namun senyatanya MK dalam putusannya telah menempatkan ‘aliran kepercayaan’ yang dipersamakan dengan ‘agama’.

Secara lebih lanjut, MK telah memberikan legalisasi kepada aliran kepercayaan, yang sama hal-nya dengan legalisasi terhadap 6 (enam) agama yang berlaku sebelumnya.

Tentu, legalisasi terhadap aliran kepercayaan ini akan memiliki implikasi dan konsekuensi lanjutan yang luas dan perlu diperhatikan secara serius, sebab jika tidak akan menimbulkan permasalahan baru dalam suasana kehidupan sosial-keagamaan.

Putusan MK tersebut tentu tidak hanya berimplikasi terkait soal administrasi kependudukan semata, namun juga harus menjamin dan mengakomodir semua kepentingan dan hak konstitusional dari penganut aliran kepercayaan yang telah dilegalisasi oleh MK.

ASPEK SUBSTANTIF
Rasanya memang perlu dilihat kembali keberadaan penganut aliran kepercayaan sebelum Putusan MK tersebut. Hal ini penting untuk melihat sudah sampai sejauh mana negara mengakomodir dan memberikan akses di semua bidang kepada para pengangut aliran kepercayaan.

Penganut aliran kepercayaan sejatinya, meski tidak dicantumkan di dalam kolom agama, namun tetaplah tercatat di dalam databese administrasi kependudukan. Begitupun dengan status dan akses sosial di masyarakat, yang sejatinya tidak dibedakan dengan warga negara lainnya.

Penganut aliran kepercayaan memang telah ada, jauh sebelum agama ada. Hal mana yang sejatinya didalilkan oleh Maria Farida Indrati, salah seorang Hakim MK. Namun, aliran kepercayaan tersebut tidaklah ditempatkan sebagai satu kesatuan yang sama dan dipersamakan dengan ‘agama’.

Sesungguhnya, sejak zaman pra kemerdekaan, orde baru, orde lama, rezim reformasi dan pasca reformasi, negara telah mengakui keberadaan ‘penganut aliran kepercayan’ yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Hal mana yang sejatinya telah dijamin di dalam konstitusi.

Negara tidak pernah untuk membatasi dan/atau ‘ikut campur’ dalam urusan ritual (spiritual) aliran kepercayaan, apapun itu. Negara justru hadir menjamin keberlangsungan penganut aliran kepercayaan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Mana Esa, sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.

Hadirnya negara dapat dilihat dari sejarah berdirinya lembaga Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) ataupun Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Begitupun dengan organ instansi vertikal (kementerian), yang dalam hal ini Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang mana tugas pokoknya memfasilitasi para penganut aliran (penghayat) kepercayaan, yang telah diverifikasi dan terdaftar oleh pemerintah.

Realitas ini memperlihatkan bahwasannya salah besar anggapan yang menyimpulkan bahwa negara selama ini ‘abai’ dan tidak sama sekali memperhatikan para penganut aliran kepercayaan yang senyatanya ada di sebagian wilayah Indonesia, di mana berdasarkan Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi) pada tahun 2017, terdapat 187 kelompok penghayat kepercayaan yang diakui dan terdaftar oleh pemerintah.

Begitupun dengan argumentasi yang menyandarkan pada ketentuan mengenai hak asasi manusia (HAM), yang menyatakan bahwa konstitusi telah  menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Hal tersebut tentu perlu dipahami dengan melihat kembali entitas agama yang senyatanya berbeda dengan entitas aliran kepercayaan, baik dari sifat (jenis), karakter, konfigurasi dsb.

Selanjutnya juga perlu diingat bahwa klausul mengenai HAM tersebut secara limitatif dibatasi oleh ketentuan yang ada di dalam Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain, dan pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.

Akhirnya, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa putusan MK ikhwal aliran kepercayaan, tidaklah dapat dipandang sebagai sebuah langkah yang progresif dan forward looking, namun sebaliknya (backward looking).

Terlepas dari perdebatan dan kontroversi yang ada, baik ketika dikaitkan dengan pengakuan dari negara secara de facto maupun secara de jure (legalisasi) maupun ketika dihubungkan dengan pemenuhan HAM yang secara konstitusional dijamin dan harus dipenuhi.

Maka, kesemua hal tersebut haruslah dimaknai secara kontekstual dan objektif (non – parsial), di mana sejatinya penganut aliran kepercayaan telah diakui (ada) sejak dahulu kala, hanya saja political will pemerintah yang tidak menempatkan aliran kepercayaan sebagai domain yang sama dengan ‘agama’, namun pada praktiknya lebih dekat ke arah tradisi atau dianggap sebagai warisan budaya lokal (heritage) masyarakat setempat dalam ritual spiritual (budaya lokal). Begitupun dengan pemenuhan HAM, yang sejatinya juga tidak mutlak (non-derogable right), akan tetapi terbatas, jika diatur dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan dan juga dibatasi oleh hak orang lain dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Oleh : Rio Chandra Kesuma, S.H., M.H., C. L. A. ***
***Penulis ialah Praktisi (Penggiat) Hukum
Dipublikasikan pada 07 Desember 2017

Bagikan ke :
Share on Facebook Share on Google+ Tweet about this on Twitter Email this to someone Share on LinkedIn Pin on Pinterest

BERITA TERKINI

INVESTIGASI

BERITA SEBELUMNYA

BANYU ASIN 21-April-2024, 10:43

Dr KONAR ZUBIR SH, MH SERAHKAN FORMULIR PENDAFTARAN BACALON BUPATI BANYUASIN 

LAHAT - 20-April-2024, 21:15

Tekan Jalur KA Maut, Pemkab Lahat Perketat Penjagaan 

LAHAT - 20-April-2024, 21:10

PJ Bupati Lahat Bersihkan Taman Ribang Kemambang

PAGAR ALAM - 20-April-2024, 12:55

MOBIL TERPEROSOK DI LIKUAN ENDIKAT, LALIN KENDARAAN MACET TOTAL

LAHAT - 19-April-2024, 20:37

Warga Kelurahan Sari Bungamas Sambangi Kediaman YM 

MUBA - 19-April-2024, 20:36

Kunjungi Kecamatan Sungai Keruh, Pj Bupati Muba Serahkan Berbagai Bantuan untuk Warga 

MUBA - 19-April-2024, 20:35

Tower Telkomsel On Air di Dua Desa Babat Supat, Warga Ucapkan Terima Kasih ke Pj Bupati Apriyadi Mahmud 

LAHAT - 19-April-2024, 17:48

Dukcapil Lahat, Warga Pseksu Keluhkan Pelayanan Pembuatan E-KTP 

OKU - 19-April-2024, 17:03

Kapolres OKU Pantau SiDokkes Polres OKU Yang Gelar Rikkes Berkala Tahun 2024

BANYU ASIN 19-April-2024, 13:31

PJ BUPATI BANYUASIN BUKA MUSRENBANG RPJPD 2024 

BANYU ASIN 19-April-2024, 13:15

RESES ANGGOTA DPRD BANYUASIN TAMPUNG USULAN MASYARAKAT 

PALEMBANG - 19-April-2024, 11:44

Kapolda Menerima Ka BNNP Sumsel Beserta Staff 

LAHAT - 18-April-2024, 21:50

Inginkan Perubahan, Masyarakat 7 Kecamatan Deklarasikan Dukung YM 

LAHAT - 18-April-2024, 21:33

Pj Bupati Lahat Gelar Silaturahmi dan Halal Bihalal Seluruh OPD dan ASN 

BANYU ASIN 18-April-2024, 21:17

RESES ANGGOTA DPRD BANYUASIN TAMPUNG USULAN MASYARAKAT 

MUBA - 18-April-2024, 20:40

Jalankan Instruksi Pj Bupati Apriyadi, Perusahaan di Jirak Jaya Gerak Cepat Perbaiki Jalan Rusak 

PALEMBANG - 18-April-2024, 18:10

Kapolda berikan Apresiasi dan PIN Emas Buat Polisi, Sukses Ungkap Pembunuhan Sadis Dalam Waktu 1 X 24 Jam 

BANYU ASIN 18-April-2024, 18:09

MENTERI PUPR RI TINJAU TOL TRANS SUMATERA 

PALEMBANG - 18-April-2024, 17:26

Kapolda Sumsel Bersama Pj Gubernur Sumsel Hadiri Rakor Isu-Isu Strategis Pilkada 

LAHAT - 18-April-2024, 17:06

PEMILU AMAN, POLRES LAHAT DI APRESIASI BADKO HMI SUMSEL

MUBA - 18-April-2024, 11:56

Pemkab Muba Siap Dukung Pelantikan Serentak Pengurus IPNU – IPPNU 

MUBA - 18-April-2024, 11:54

Pemkab Muba Rapat Pembahasan Pengelolaan BMN 

OKU - 17-April-2024, 23:19

Kapolres OKU Pimpin Upacara Hari Kesadaran Nasional

PALEMBANG - 17-April-2024, 21:21

Wakapolda Sumsel menerima Tim Wasops Itwasum Polri Dalam rangka Operasi Ketupat Musi 2024 Polda Sumsel 

MUBA - 17-April-2024, 21:20

Tomas dan Tokoh Agama Hingga Pemerintah Pusat Apresiasi Peralihan Listrik di Muba 

CATATAN SRIWIJAYA

  • Catatan Sriwijaya 26-November-2023, 22:50

    DETERMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM

    Oleh Burmansyahtia Darma,S.H.

    Muara Enim - Pemilihan Calon Legislatif atau yang trend nya Calon Anggota D

APA dan SIAPA

FACEBOOKERS SRIWIJAYA ONLINE