ISI

CATATAN RIO CK (11) : MOMENTUM PERGANTIAN TAHUN : Refleksi, Evaluasi, Dan Proyeksi Lembaga Penegakan Hukum


29-October-2017, 06:53


Siklus pergantian tahun yang akan sesegera usai dan berakhir dapatlah dijadikan sebuah momentum untuk merefleksi sekaligus mengevaluasi praktik penegakan hukum (law enforcement) yang dijalankan oleh lembaga penegak hukum, dan untuk selanjutnya memberi catatan konstruktif sebagai proyeksi ke depan guna perbaikan di masa – masa mendatang (forward looking).

Melihat diskursus praktik penegakan hukum dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sepanjang tahun 2018, ataupun secara umum dalam periodesasi rezim pemerintahan saat ini, secara kasat mata belumlah dapat memberikan feedback dalam arti proses dan hasil yang membanggakan, baik dari aspek kinerja yang profesional, proses penegakan hukum yang berdasarkan due process of law, maupun etos kerja dan orientasi aparatur penegak hukum yang masih sangat jauh dari nilai – nilai idealisme yang berintegritas (high integrity).

Melaui tulisan singkat ini akan coba dilihat beberapa lembaga penegak hukum strategis, yang dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan publik di dalam menangani perkara hukum krusial.

Pertama, lembaga Kepolisian yang memang dalam setiap waktu tidak pernah berhenti menjadi fokus perhatian publik, hal ini dikarenakan memang kepolisian secara langsung berhadapan dengan berbagai persitiwa hukum (tindak pidana) yang terjadi di masyarakat. Selain itu memang peran dan fungsi kepolisian yang juga cukup vital di dalam konsep sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system) sebagaimana yang diungkapkan oleh Mardjono Reksodiputro (1993), dimana merupakan komponen subsistem yang berkedudukan sebagai gatekeepers (penjaga pintu gerbang awal) dari sistem peradilan pidana. (John Baldwin dan A. Keith Bottomley, 1978 : 35)

Kedudukan dan posisi kepolisian sebagai organ vital dalam praktik penegakan hukum, ditambah dengan kewenangan yang cukup besar, menjadikan arogansi serta ego sektoral kelembagaan kian menguat dari hari ke hari. Konsekuensi dari hal tersebut tentu membuat besarnya potensi overlapping kewenangan dalam arti pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kepolisian.

Salah satu contoh konkrit dalam konteks overlapping tupoksi kepolisian ialah penanganan gerakan separatis di papua pada awal desember 2018 yang lalu, di mana lembaga kepolisian menjadi leading sector. Hal ini tentu sangatlah salah arah, pelabelan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagaimana yang didalilkan dan dijadikan dasar (legalitas) oleh kepolisian merupakan cara pandang yang keliru (fallacy). Sebab, sudah sangat mutlak dapat diidentifikasi bahwa serangkaian aksi yang dilakukan oleh gerombolan/kelompok di papua bukanlah aksi kriminal biasa (ordinary crime), namun hal tersebut sudah masuk dalam kategorisasi gerakan separatis yang dilakukan oleh pemberontak yang menolak eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki tujuan ideologis yang mengancam integrasi bangsa, menentang kedaulatan NKRI, serta memiliki tujuan untuk memisahkan diri, sehingga bukan pada tempatnya kepolisian menjadi leading sector dalam hal penanggulangan kelompok/gerombolan bersenjata tersebut, melainkan TNI – lah yang seharusnya sebagai alat pertahanan negara mengambil alih (hadir) guna memberantas gerakan separitis tersebut.

Tingginya arogansi lembaga kepolisian, baik secara intitusional maupun secara personal, membuat fungsi koordinasi, supervisi dan harmonisasi dengan lembaga penegak hukum lain ataupun institusi (formal) lainnya menjadi sangat minim dan jauh dari yang diharapkan. Begitupun secara eksternal, hal ini akan membuat ‘jarak’ dan ‘sekat’ diantara kepolisian dengan masyarakat menjadi kian lebar, dan menegasikan peran polri sebagai pengayom masyarakat, selain daripada fungsi security and public order maintenance. Sehingga pada akhirnya, publik akan miskin ekspektasi dan menstimulate ketidakpercayaan (public distrust) di masyarakat.

Catatan lain, ialah masih terkait dengan pola dan model pengungkapan kasus (perkara) hukum yang memiliki tingkat sensitifitas publik yang cukup tinggi. Di mana dalam beberapa perkara sebelumnya, banyak persepsi miring terhadap lembaga kepolisian yang dianggap tidak profesional, parsial dan tebang pilih di dalam menangani kasus (perkara) hukum yang terjadi, hal tersebut dipersepsikan ketika kepolisian dihadapkan pada perkara yang dialami oleh para pihak aktivis (oposisi) yang tidak sejalan dengan pemerintah, dalam berbagai bentuk dan jenis perkara, misalkan dalam kasus kriminalisasi ulama, maka kepolisian dengan cepat dan sigap memberikan skala prioritas guna mengungkap perkara tersebut, hal sebaliknya berbeda dalam pandangan publik ketika kepolisian diperhadapkan dengan perkara yang dialami oleh para pihak yang pro dan sejalan dengan rezim pemerintah (penguasa), maka proses yang berjalan sangatlah berlarut – larut, tidak tuntas serta ‘mangkrak’ jalan ditempat.

Hal ini tentu menjadi salah satu isu strategis bagi kepolisian khususnya guna menjamin independensi dan netralitas guna mewujudkan praktik penegakan hukum yang fair, objektif (parsial – tidak memihak), dan profesional berdasarkan due process of law sehingga dapat mengembalikan kepercayaan publik (public trust recovery).

Point penting disini ialah bagaimana kepolisian ke depan dapat mengedepankan aspek profesional berdasarkan due process of law sehingga on the track dalam menghadapi perkara (kasus) hukum apapun, dan sedapat mungkin menghindari relasi politis yang dapat mempengaruhi tugas dan fungsi kepolisian, melalui intervensi (kekuasaan).

Kedua, lembaga Kejaksaaan yang kalau boleh dibilang memiliki rapor dan track record yang paling tidak mengembirakan sekaligus menghkawatirkan dibandingkan dengan lembaga aparatur penegak hukum yang lain. Tidak tahu mengapa, Korps Kejaksaan pada rezim pemerintahan saat ini, khususnya dalam mengungkap dan menangani beberapa perkara hukum yang terjadi akhir – akhir ini sangatlah sarat dengan order kepentingan (intervensi).

Apabila coba dievaluasi serta dikritisi, Korps Kejaksaan yang seharusnya berjalan secara independent (mandiri), imparsial (tidak memihak) seakan memiliki afiliasi dengan kepentingan (politis) pihak tertentu. Sejatinya, memang kalau ingin dibedah secara normatif tekstual di dalam tata aturan, sebagaimana yang ada di dalam UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, terdapat ambivalensi kedudukan dan peran lembaga kejaksaaan, yang di satu sisi sebagai lembaga pemerintah/eksekutif (sebagai unsur pemerintah/pembantu Presiden) dan di sisi yang lain memiliki tupoksi dan wewenang di bidang penegakan hukum dalam hal penuntutan, yang masuk dalam ranah yudikatif.

Meskipun, terdapat ambivalensi namun senyatanya apabila dicermati sejatinya dalam konteks ketatanegaraan, meskipun Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan serta bertanggung-jawab kepada Presiden (Pasal 19 dan 22 UU Kejaksaan), dan secara kelembagaan Kejaksaan berada di ranah eksekutif, (meksipun banyak ahli yang mengatakan bahwa posisi-nya tidak bisa serta merta disubordinasi dari kekuasaan eksekutif, dan bukan merupakan alat pemerintah), namun dalam pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang, khususnya dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang – undang, haruslah dilaksanakan secara ‘merdeka’ dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah ataupun pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 UU Kejaksaan). Artinya, tetaplah bahwa lembaga kejaksaan di dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenang-nya, khususnya dalam menangani dan menuntut perkara (kasus) hukum yang terjadi haruslah berjalan secara independent (merdeka) dan profesional.

Secara lebih lanjut, dalam beberapa perkara kasus (hukum) yang terjadi keadaan sebaliknya justru diperlihatkan oleh lembaga kejaksaan yang selalu ‘ngotot’ dan ‘memaksakan’ suatu perkara kasus (hukum) tertentu, yang apabila ditelisik ke bekalang memiliki sejarah (historis) yang tidak sejalan dengan afiliasi politik ataupun kepentingan pihak tertentu, baik secara personal ataupun tidak.

Salah satu contoh konkrit yang tentu masih segar di ingatan publik, ialah kasus yang terjadi pada La Nyala Mataliti, yang dalam 3 (tiga) kali waktu berhasil memenangkan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka terhadap dirinya oleh Kejaksaan. Namun dalam perkara ini Kejaksaan tetap saja ‘ngotot’ untuk kembali dan berulang (kembali) menetapkan status tersangka terhadap La Nyala Mataliti, meski pada akhirnya yang bersangkutan di vonis bebas oleh pengadilan.

Perkara serupa yang terjadi pada Edward Soerydjaya, yang telah memenangkan praperadilan atas penetapan tersangka terhadap dirinya yang dilakukan oleh Kejaksaaan, namun masih tetap ‘dipaksakan’ kembali oleh Kejaksaaan dengan menetapkan kembali yang bersangkutan sebagai tersangka. Begitupun dengan beberapa kasus (perkara) hukum lainnya juga yang ditangani oleh kejaksaan yang memperlihatkan proses penegakan hukum yang tidak dijalankan secara fair dan akuntabel.

Point penting disini tentu dapatlah dilihat bahwa Korps Kejaksaan sangat kental dengan aroma/tendensi politis, dan sangat dekat dengan afiliasi kekuasaan (pemerintah), sehingga lembaga ini tidak berjalan sebagaimana mestinya untuk menjamin pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain secara ‘merdeka’ dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah ataupun pengaruh kekuasaan lainnya.

Sebagai proyeksi dan catatan ke depan, tentu perlu diformulasikan agar independensi lembaga kejaksaaan dapat terjamin dan menjadi ‘harga mati’, meskipun proses pengangkatan dan/atau pemberhentian Jaksa Agung dilakukan melalui hak prerogatif Presiden. Mungkin sebagai solusi taktis – jangka pendek, prasyarat sebagai seorang Jaksa Agung perlu diperketat, baik dari sisi integritas, track record, profesionalisme serta tidak memiliki afiliasi (kepentingan) politis dengan pihak manapun. Dan sebagai solusi jangka panjang, mungkin perlu juga diaktualisasikan untuk memutus mata rantai afiliasi lembaga kejaksaaan dengan pihak penguasa (Presiden), sehingga lembaga kejaksaaan tidak menjadi alat penguasa untuk membungkam pihak – pihak tertentu yang tidak sejalan dengan penguasa, hal ini tentu dapat direalisasikan dengan merekonstruksi ulang kedudukan, posisi dan status lembaga kejaksaaan dalam struktur ketatanegaraan melalui revisi peraturan perundang-undangan, seperti halnya dengan menempatkan lembaga kejaksaan di dalam ranah yudikatif.

Ketiga, ialah lembaga sensasional bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang mungkin hampir setiap hari menjadi konsumsi publik di berbagai media pemberitaan. Sejatinya KPK memang diharapkan menjadi ‘the real hero’ pada hari ini guna menjawab stagnansi dalam praktik penegakan hukum, khususnya dalam bidang pemberantasan korupsi. Namun, apa daya KPK hari ini seakan membuat pentas (panggung) pertunjukan sendiri, berjalan one man show, dan selalu berharap serta mengharap simpati publik akan pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan, dengan harapan selalu mendapat dukungan (support) dari masyarakat luas secara massive.

Tentunya, apabila ditelisik lebih jauh memang tidak ada yang keliru dengan praktik penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK, hanya saja sesungguhnya KPK telah salah arah/tujuan dalam memberikan prioritas pengungkapan kasus tindak pidana korupsi yang sejatinya telah keluar dari ruh dan filosofi UU KPK itu sendiri.

KPK sejatinya memang tetap pantas untuk mendapatkan apresiasi dan simpati publik, khususnya dalam hal kuantitas (jumlah) kasus korupsi yang dapat diselesaikan dan diungkap, terutama yang bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Sepanjang tahun 2018 saja berdasarkan data yang direlease oleh lembaga anti rasuah tersebut (Kompas, 2018), KPK berhasil melalukan sebanyak 29 kali Operasi Tangkap Tangan (OTT), yang dimana 22 diantaranya merupakan kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota). Jumlah ini tentu merupakan sejarah Operasi Tangkap Tangan (OTT) terbanyak yang pernah dilakukan oleh KPK, sejak lembaga anti rasuah tersebut terbentuk pada tahun 2002.

Aspek kuantitas tersebut justru sangat berbanding terbalik dengan nilai kualitas materi kasus (perkara) yang digarap oleh KPK, yang sesungguhnya merupakan role model ideal yang menjadi dasar filosofi pembentukan lembaga KPK. Disinilah catatan kritis konstruktif terhadap KPK yang dalam perjalanannya telah offside dari khittah dan marwah-nya dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Stakeholder terkait tentu haruslah melihat kembali sandaran filosofis dari pembentukan lembaga KPK. Hal tersebut guna memperlihatkan praktik pemberantasan korupsi oleh KPK yang hari ini berjalan ‘salah arah/tujuan’. Bila dianalogikan dengan ‘pembasmi(an) hama’ yang harus dilakukan di puncak gunung, yang mana telah diberikan jalur khusus untuk secara langsung mendaki titik puncak gunung tersebut, di mana tidak dimiliki oleh para pendaki lainnya, namun pembasmi hama (yang dianalogikan KPK tersebut) masih berkutat untuk membasmi hama di kaki gunung yang sangat landai dengan riuh, gaduh serta berputar-putar, tidak langsung menuju puncak untuk membasmi hama yang ada di puncak gunung tersebut.

Pararel dengan analogi tersebut, realitas yang ada di KPK hari ini, KPK tidak mengarahkan skala prioritas terhadap kasus–kasus korupsi yang mempunyai nilai (value) substansial dan nilai material yang besar (high value), seperti; pada bidang SDA, Migas, Pertambangan, Perbankan dan bidang-bidang strategis lainnya (mega corruption), dan tidak juga menyasar pada korupsi di sektor penerimaan dan/atau pendapatan negara yang mana orientasi akhirnya ialah pada cost and asset recovery.

Hal tersebut lantas bukan berarti KPK harus ‘tutup mata’ terhadap kasus-kasus korupsi lainnya, akan tetapi di sinilah peran dari lembaga (institusi penegak hukum) lain, selain KPK untuk menanggulanginya (fungsi koordinasi dan supervisi dengan Kepolisian dan Kejaksaan).

Kemudian, begitu juga dengan arah penanggulangan korupsi oleh KPK, yang sejatinya tidak berimbang diantara sektor hulu dan hilir. Sektor hulu tidak hanya dimaksudkan dalam konteks preventif (pencegahan), yang ukuran keberhasilannya ialah berkurangnya pelaku korupsi atau ketika para pelaku korupsi terhenti dan sadar diri untuk tidak melakukan korupsi.

Namun, hal lain dalam konteks preventif di sektor hulu ialah sejauh mana KPK juga dapat menstimulate lembaga penegak hukum lain, yakni Kepolisian, Kejaksaan dan lembaga penegak hukum lain, agar terhindar dari praktik korupsi (zero corruption), hal mana yang sesungguhnya juga searah dengan mandat KPK sebagai triger mechanism; yang berarti sinergitas antar penegak hukum perlu dilakukan, dan tidak dapat berjalan sendiri tanpa ditunjang (saling mendukung) antar sesama penegak hukum.

Selanjutnya, pada sektor hilir yang saat ini seakan menjadi titik berat dari arah dan visi KPK, setidaknya perlu diilhami dan diresapi kembali tupoksi KPK sebagaimana yang ada di dalam ketentuan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002, yang terdiri dari koordinasi, supervisi, penindakan (refresif), pencegahan (preventif) serta monitoring (pengawasan).

Dalam hal ini apabila melihat konstruksi norma tersebut, secara filosofis dapatlah dilihat mengapa justru fungsi penindakan tidaklah diletakan pada point pertama (di awal) dari tugas KPK tersebut.

Adapun makna implisit jika dilihat kembali risalah pembentukan dari ketentuan tersebut (memorie van toelichting), yakni sebenarnya fungsi penindakan yang berisi serangkaian tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bukanlah satu-satunya fungsi utama KPK, dan hal tersebut merupakan salah satu bagian dari fungsi dan tugas pokok KPK.

Konsekuensi logis dari hal tersebut berarti, KPK tetaplah harus mengedepankan fungsi (strategis) lainnya, yakni koordinasi dengan instansi (penegak hukum), supervisi, penindakan hingga pencegahan dan monitoring atau pengawasan. Inilah ‘asbabun nuzul’ dari tupoksi KPK yang sebenarnya, yang andaikan direalisasikan secara murni dan konsekuen oleh KPK akan lebih memberikan hasil yang optimal dan maksimal dalam pemberantasan masalah korupsi yang sudah mengakar di Indonesia.

Sebagai proyeksi ke depan tentu KPK harus lebih membuka diri, jangan terkesan mengedepankan ekslusifitas kelembagaan, begitupun dengan penyelesaian kasus mega korupsi yang belum tuntas, seperti hal-nya Kasus KLBI/BLBI, Kasus Century, Kasus E-KTP dan berbagai kasus prestigious lainnya, yang harus diberi prioritas (segera) untuk diselesaikan. Adapun input lainnya yang juga takkala penting ialah KPK juga harus melakukan reorientasi, reaktualisasi serta rekontekstualisasi terhadap arah, visi dan prioritas terhadap kasus mega korupsi yang telah sesuai dengan khittah dan marwah dari lembaga KPK sebenarnya, bukan sebaliknya.

Demikianlah, beberapa catatan penutup tahun sekaligus pembuka tahun (baru), terkait dengan refleksi, evaluasi dan proyeksi lembaga penegak hukum strategis di tanah air. Semoga siklus pergantian tahun akan meninggalkan perihal semua catatan negatif dalam praktik penegakan hukum di tahun yang lalu, dan di tahun yang baru nanti hanya akan menyisakan catatan dalam lembaran baru yang lebih baik, dimulai dengan semangat penegakan hukum yang lebih produktif dan konstruktif. Semoga !

Oleh : RIO CHANDRA KESUMA, S.H., M.H., C. L. A. ***

*** Penulis ialah Peneliti Pada CDCS, Center For Democracy and Civilization Studies, Praktisi Hukum (Advokat) di Palembang & Jakarta, Tenaga Ahli DPR RI dan Ketua IMMH UI.

==================

CATATAN RIO CK (10) : MENGAPRESIASI KEBIJAKAN LARANGAN OPERASIONALISASI ANGKUTAN BATU BARA

Polemik ikhwal larangan angkutan batu bara beroperasi di wilayah sumatera selatan kembali mengundang sensitifitas publik yang cukup hangat dan mengemuka. Pro dan Kontra kembali menghiasi ruang publik, serangkaian aksi penolakan datang utamanya dari pengguna/pelaku jasa angkutan baru bara, produsen hingga pengusaha di bidang batu bara.

Untuk saat ini Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, melalui beberapa statement dan pernyataan langsung dari Gubernur Sumatera Selatan, tetap tidak bergeming dan akan tetap konsisten terhadap kebijakan pelarangan operasionalisasi angkutan batu bara tersebut.

Melalui tulisan singkat ini untuk menambah referensi sekaligus memperkaya ruang dialog publik secara ilmiah menyikapi kebijakan tersebut, akan coba diurai dalam beberapa perspektif (sudut pandang).

ASPEK TEKHNIS (REGULASI)
Pada mulanya, tanpa bermaksud untuk mengaitkan kebijakan ini dengan tendensi politis, namun memang jikalau dirujuk sejatinya wacana larangan operasionalisasi angkutan batu bara bermula dari janji kampanye Gubernur terpilih pada moment pilkada beberapa waktu yang lalu, hingga pada akhirnya terpilih dan secara responsif mengaplikasikan janji kampanye tersebut, melalui kebijakan larangan operasionalisasi angkutan batu bara.

Tentu kebijakan Gubernur Sumatera Selatan kali ini, jikalau nantinya akan dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan, tidak hanya cukup diberikan apresiasi, namun memang perlu feedback yang konkrit dari masyarakat atas kebijakan sensasional tersebut. Mengapa demikian ?

Hal tersebut memang dikarenakan persoalan dan polemik ikhwal operasionalisasi angkutan batu bara telah berlarut – larut sejak dahulu kala. Dan dalam beberapa waktu (terdahulu), rezim pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan (pada kepemimpinan sebelumnya) pada akhirnya selalu kalah dan meng’amini’ angkutan batu bara tetap berjalan (beroperasi), meski banyak suara, tuntutan, aspirasi masyarakat yang resah atas operasionalisasi angkutan batu bara tersebut.

Sejatinya, dari aspek regulasi pada mulanya dasar hukum beroperasinya angkutan baru bara di jalan umum termaktub di dalam Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No. 23 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengangkutan Batu Bara Melalui Jalan Umum yang diundangkan pada 11 Juni 2012, melalui Lembaran Berita Daerah Provinsi Sumatera Selatan tahun 2012 nomor 23.

Sejatinya apabila ditelisik lebih jauh, senyatanya kelonggaran yang diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan terkait beroperasinya angkutan baru bara di jalan umum sudah ‘kebablasan’, hal mana yang sejatinya menegasikan hierarki peraturan yang lebih tinggi dari peraturan Gubernur itu sendiri, yakni Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan No. 5 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Senyatanya, dapat dilihat lebih jauh bahwa ketentuan di dalam Pasal 53 bagian keempat Perda No. 5 tahun 2011 memang telah secara deklaratif dan imperatif mewajibkan kegiatan pengangkutan batu bara lintas kabupaten/kota ‘wajib’ menggunakan jalur khusus. Dan memang dikecualikan, apabila jalur khusus tersebut belum terwujud maka kegiatan pengangkutan batu bara dapat menggunakan jalur umum paling lama 2 (dua) tahun sejak perda tersebut diberlakukan.

Namun, dapat dilihat rentan waktu dari tahun 2011 hingga saat ini telah melewati batas waktu sebagaimana yang telah diamanatkan di dalam Perda No. 5 tahun 2011. Sejatinya, Pergub No. 23 Tahun 2012 telah berjalan secara kontradiktif dengan Perda No. 5 tahun 2011. Tentu, dapat dilihat bahwa Pergub No. 23 Tahun 2012 telah memberikan ‘kelonggaran’ yang justru tidak mengarahkan para pelaku bisnis/usaha di bidang pengangkutan batu bara untuk sesegera mungkin mewujudkan jalur khusus kegiatan pengangkutan batu bara sebagaimana amanat di dalam Perda No. 5 tahun 2011.

Oleh karenanya, secara liniear, kebijakan Gubernur Sumatera Selatan yang mencabut Pergub No. 23 Tahun 2012 melalui Pergub No. 74 tahun 2018 yang berlaku sejak 08 November 2018, kembali mengalihkan dasar hukum pelaksanaan kegiatan pengangkutan batu bara ke Perda No. 5 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

CAKRAWALA SOSIOLOGIS Vs DIMENSI EKONOMI
Berbicara lebih jauh mengenai polemik dan permasalahan kegiatan pengangkutan batu bara, senyatanya terkait langsung dengan 2 (dua) perspektif, yang di satu sisi bersifat kualitatif, dikarenakan hal tersebut berkaitan dengan zona sosial kemasyarakatan, yang senyatanya sangat resah dan berkeberatan atas beroperasi-nya angkutan batu bara di jalan umum, dan di satu sisi bersifat kuantitatif, sebagaimana yang banyak disuarakan oleh pelaku bisnis/usaha batu bara terkait dengan dampak ekonomi berupa profit/keuntungan yang dihasilkan atas proses produksi batu bara itu sendiri bagi beberapa stakeholder, utamanya pemerintah provinsi maupun pemeritah kabupaten/kota.

Apabila ditelaah lebih jauh, memang tidak dapat dinafihkan bahwa kedua aspek tersebut sama pentingnya dan tidak dapat saling menegasikan. Namun, pilihan yang tegas, rasional dan aspiratif harus diambil dengan kembali mendasarkan pada legalitas (dasar hukum) yang ada, yakni mendasarkan pada amanat Perda No. 5 tahun 2011 yang telah secara jelas mewajibkan kegiatan pengangkutan batu bara berada di jalur khusus (bukan jalur/jalan umum), dan perda tersebut juga telah memberikan kelonggaran waktu yang tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh para pengguna/pelaku bisnis di bidang usaha batu bara.

Andaikan, pelaku bisnis di bidang batu bara berargumentasi dengan menyajikan data profit keuntungan yang besar dari proses produksi batu bara, maka mengapa tidak profit keuntungan tersebut dari proses produksi beberapa tahun ke belakang dimaksimalkan untuk membangun dan menata jalur khusus sebagaimana yang telah diamanatkan.

Begitupun dengan hitung-hitungan angka kerugian yang salah satunya disampaikan oleh Asosisasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), yang mengungkapkan bahwa dampak ekonomi dari kebijakan ini ialah Sumatera Selatan ditaksir akan merugi sekitar USD 1,2 miliar atau setara dengan Rp. 18,3 triliun pertahun (sumsel.tribunnews.com, 08/11/2018), hal tersebut memang tidak dapat dipandang sebelah mata, namun meskipun tidak equal menyandingkan nilai nominal ekonomi tersebut dengan aspek sosial masyarakat, sejatinya kebijakan pelarangan operasionalisasi angkutan batu bara tetaplah dapat dipandang sebagai sebuah langkah yang bijak dan rasional. Hal tersebut tentu dapat dilihat dengan menyandarkan pada beberapa realitas negative impact sebagai berikut :

Pertama, ialah terkait dengan terhambatnya kelancaran lalu lintas jalan umum yang sejatinya diperuntuhkan untuk kegiatan kemaslahatan masyarakat. Dapat dilihat bagaimana dampak kemacetan (traffic) yang ditimbulkan oleh kegiatan pengangkutan batu bara, yang sejatinya juga menimbulkan dampak secara langsung terhadap wilayah (kabupaten/kota) yang dilintasinya.

Memang secara ideal, apabila berkaca pada negara maju, sesungguhnya proses produksi dalam arti kegiatan bisnis ekonomi, seperti hal-nya perkebunan, pertambangan, dsb haruslah memiliki jalur transportasi tersendiri yang terpisah dari jalur transportasi massal/jalur umum yang digunakan masyarakat.

Oleh karenanya, apabila ingin ditaksir dalam kalkulasi secara ekonomis, maka dampak kemacetan lalu lintas akibat operasionalisasi angkutan batu bara juga cukup besar.

Kedua, ialah terkait aspek kenyamanan masyarakat lingkungan (wilayah) sekitar yang dilintasi oleh angkutan batu bara. Meski, sampai sejauh ini belum ditemukan survey yang rigid terkait dengan aspirasi masyarakat atas larangan operasionalisasi batu bara. Namun, secara kasat mata dapatlah dilihat bahwa masyarakat di wilayah yang dilintasi batu bara, senyatanya sangat ‘resah’ dan ‘tidak nyaman’ dengan operasionalisasi angkutan batu bara yang melintas di wilayahnya.

Hal tersebut dapat dilihat dari indikator serangkaian aksi penolakan masyarakat di wilayah perlintasan batu bara, yang notabenenya memboikot angkutan batu bara melintas di wilayahnya. Hal tersebut tentu, sangat rawan dan potensial menimbulkan gesekan ataupun konflik horisontal di masyarakat. Dapat dilihat juga beberapa kejadian anarkis yang dilakukan oleh masyarakat yang menolak operasionalisasi angkutan batu bara.

Ketiga, ialah terkait dengan banyaknya kecelakaan dan pelanggaran yang dilakukan oleh angkutan batu bara. Dapat dilihat dalam beberapa tahun ke belakang beberapa kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban nyawa terjadi cukup intens di beberapa wilayah perlintasan angkutan batu bara. Begitu juga hal-nya dengan pelanggaran yang dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan pengangkutan batu bara, yang sejatinya tidak mengindahkan berbagai peraturan dan ketentuan yang sudah tertuang, baik di dalam Pergub No. 23 Tahun 2012 maupun Perda No. 5 tahun 2011.

Hal tersebut diantaranya, ketentuan batas waktu operasional melintas, yang mana seringkali masih banyak kegiatan pengangkutan yang tidak sesuai dengan batas waktu melintas yang sudah ditentukan, kemudian terkait dengan pembatasan jumlah muatan, jumlah kuota maupun batas konvoi yang tidak boleh lebih dari 3 (tiga) kendaraan serta larangan tidak boleh berhenti/parkir di bahu jalan umum, yang masih sangat sering tidak diindahkan. Pada point ini rasanya peran tim terpadu dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pengangkutan batu bara masih sangat minim dan terkesan permisif atas banyaknya pelanggaran yang (sering) dilakukan.

Pada akhirnya apabila ingin dikuantifikasi serangkaian gejolak, keresahan, potensi konflik (gangguan) yang diakibatkan oleh operasionalisasi angkutan batu bara di jalan umum, maka sudah barang tentu hal tersebut juga memiliki nilai kalkulasi secara ekonomis yang cukup besar, hal mana yang juga seharusnya menjadi dasar pertimbangan dari berbagai stakeholder terkait.

Oleh karenanya, sekali lagi kebijakan Gubernur Sumatera Selatan yang melarang kegiatan pengangkutan batu bara di jalan umum perlu diberikan apresiasi dan penghargaan. Dan besar harapan, kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara tegas, konsisten dan berkelanjutan, tidak padam meski digoyang oleh derasnya desakan (intervensi – lobi kekuasaan), tidak luntur meski nantinya ancaman demo atau boikot aksi massa yang besar akan kembali (berulang), serta tidak mundur meski nantinya godaan, rayuan, pengaruh pelaku usaha – pemilik modal datang. Akhir Kata, Kami Mendukung Kebijakanmu, Pak Gubernur !

Oleh : Rio Chandra Kesuma, S.H., M.H., C. L. A. ***

*** Penulis ialah Praktisi Hukum, Tenaga Ahli DPR RI dan Peneliti Pada Center For Democracy and Civilization Studies (CDCS)

========================================

CATATAN RIO CK (9) : SELAMAT DATANG GUBERNUR (BARU) SUMATERA SELATAN

Palembang – Rasanya tinggal menunggu hitungan hari pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih sumatera selatan akan dilaksanakan di Istana Negara oleh Presiden Republik Indonesia. Secara langsung hal tersebut juga akan mengalihkan tongkat estafet kepemimpinan sumatera selatan kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih, hal ini berarti juga bahwa tidak lama lagi masyarakat/warga sumatera selatan, yang terdiri dari 17 kabupaten/kota akan memiliki pemimpin baru, gubernur dan wakil gubernur terpilih hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang lalu.

Secerca harapan, sejuta asa dan segudang mimpi atas janji serta komitmen politik yang diumbar selama ini oleh gubernur dan wakil gubernur terpilih, seketika akan menjadi tuntutan dari masyarakat (konstituen) pemilih, yang akan ditagih realisasi serta pembuktiannya.

Tentu, berbagai macam janji serta komitmen politik yang harus dipenuhi tidaklah semudah ucapan verbal yang pernah diucapkan pada saat masa sosialisasi (kampanye) yang lalu, namun hal tersebut butuh waktu, dukungan (support) semua element masyarakat guna menjadikan sumatera selatan yang lebih baik dan terdepan nantinya di tangan gubernur dan wakil gubernur (baru) sumatera selatan.

ISU KRUSIAL
Dari berbagai catatan perjalanan panjang pilkada sumatera selatan yang lalu, hingga akhirnya menemukan sosok gubernur dan wakil gubernur terpilih (pilihan mayoritas masyarakat sumatera selatan), terdapat salah satu hal krusial yang setidaknya (hampir) tidak pernah menjadi topik utama dalam pembicaraan atau perdebatan di ruang publik, baik itu pada masa sosialisasi (kampanye), debat publik cagub-cawagub, serta ruang dan forum interaktif lainnya, baik di media massa, elektronik, dsb.

Hal tersebut ialah terkait dengan kelanjutan program pembangunan yang ada di sumatera selatan, khususnya di palembang. Sebab, dapat dilihat bagaimana progress pembangunan yang sudah ada di sumatera selatan, seperti hal-nya jalan tol, moda transportasi LRT, pembangunan jembatan musi (penghubung), pembangunan dan penataan kawasan olahraga terpadu di Jakabaring Sport City, dan berbagai pembangunan infrastruktur (fisik) lainnya, yang tentu dapat dilihat secara jelas dan kasat mata dibangun dengan menghabiskan dana hingga triliunan rupiah.

Melihat banyaknya program pembangunan yang sudah berjalan, baik yang sudah selesai (on going) maupun dalam tahap proses penyelesaian (finishing), tentu akan sangat disayangkan jikalau gubernur dan wakil gubernur terpilih yang akan dilantik nantinya, tidak memberikan prioritas terhadap program pembangunan infrastruktur tersebut.

Sebab, jikalau kita melihat rekam jejak sejarah ataupun ketika berkaca pada suksesi kepemimpinan sumsel beberapa dekade (periode) sebelumnya, menjadi hal yang lazim dan lumrah dimana gubernur dan wakil gubernur (baru) terpilih, apalagi ketika gubernur dan wakil gubernur terpilih tidak memiliki afiliasi (baik secara politis, personal dan emosional) dengan kepala daerah (gubernur) sebelumnya, maka program pembangunan ataupun sarana dan prasarana (infrastruktur) pembangunan yang diwariskan dari kepemimpinan gubernur sebelumnya, tidak dilanjutkan atau bahkan ditelantarkan, sehingga berbagai infrastruktur tersebut menjadi terbengkalai dan sia – sia.

Inilah salah satu problem krusial, jikalau mengamati suksesi roda kepemimpinan yang ada di sumatera selatan dalam beberapa dekade sebelumnya, yang mana hal tersebut utamanya disebabkan karena masih tingginya ego sektoral (ego personal) dari gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk melanjutkan program pembangunan dari kepemimpinan (gubernur) sebelumnya, dan seketika dengan menafihkan keberlanjutan program pembangunan yang dicanangkan, lalu membuat pola pembangunan tersendiri yang tidak terintegrasi dengan program pembangunan sebelumnya.

Sejatinya memang persoalan ini tidak hanya menjadi masalah dalam lingkup domestik (regional), namun juga terjadi pada tataran nasional. Inilah pula yang sejatinya menjadi salah satu isue/masalah (strategis) nasional, terkait dengan sistem pembangunan berkelanjutan. Jika dibandingkan dengan konsep pembangunan di kota-negara lain, seperti Bangkok, Singapura ataupun Tokyo, pada dasarnya pembangunan di kota – negara tersebut memiliki kualitas pembangunan yang terintegrasi (integratif), perspektif jangka panjang (foorward looking) dan berkelanjutan. (Arif Budimanta dalam Bunga Rampai, 2005:375)

Mencermati persoalan krusial ini, tentu harus dilihat kembali komitmen yang jelas dan nyata dari kepala daerah terpilih. Setidaknya, dalam pengamatan secara kasat mata, gubernur dan wakil gubernur sumsel terpilih yang akan dilantik nantinya, dalam beberapa kesempatan di ruang publik, meskipun tidak secara deklaratif dan pasti, namun tetap memiliki komitmen untuk kembali melanjutkan program pembangunan yang sudah ada dan berjalan.

Pernah dalam satu kesempatan, saya secara langsung mendengarkan (secara verbal) komitmen dari gubernur sumsel terpilih, yang sejatinya akan mengambil dan mencontoh berbagai hal – hal yang baik dari seluruh gubernur sebelumnya (yang pernah memimpin sumatera selatan), tidak terkecuali gubernur periode sebelumnya.

Hal ini tentu, sangat diharapakan juga terkait dengan kelanjutan program pembangunan yang sudah ada dan berjalan di sumatera selatan, sebab akan sangat disayangkan ketika berbagai program pembangunan infrastruktur tersebut tidak diberikan prioritas, dalam arti ditelantarkan, di mana pembangunan infrastruktur tersebut dibangun dengan menghabiskan anggaran / pendanaan yang tidak sedikit.

Dapat kita lihat dan contoh salah satunya kawasan Jakabaring Sport City (JSC), yang saat ini merupakan salah satu icon kebanggan masyarakat sumatera selatan, yang juga menjadi pusat perhatian nasional dan internasional pasca penyelenggaraan Asian Games beberapa waktu yang lalu, yang tentu secara familiar sangat melekat sebagai legacy dari gubernur periode sebelumnya, tentu ke depan kawasan JSC memerlukan pemeliharaan (maintenance) dan pengelolaan serta support secara konkrit dari pemerintah provinsi sumatera selatan, khususnya di bawah kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur baru nantinya. Sebab, jikalau tidak diberikan support yang jelas dan nyata, sudah barang tentu kawasan JSC akan menjadi hamparan rumput ilalang, seperti kebanyakan venue olahraga di daerah-daerah lainnya, pasca dibangun dan digunakan setelah penyelenggaraan suatu event olahraga.

Hal tersebut tentu sangatlah tidak diharapkan, dan dengan harapan besar tidak akan terjadi ataupun mengulangi catatan buruk pengelolaan venue olahraga di berbagai daerah lainnya.

GAYA KEPEMIMPINAN
Sebagaimana yang sering dikumandangkan oleh gubernur terpilih pada zonasi waktu kampanye yang lalu, bahwa ketika bericara sumatera selatan, tentu tidak hanya berbicara dan serta merta tentang kota Palembang, namun ada 16 kabupaten/kota lainnya, yang juga harus diberikan skala prioritas pembangunan yang adil dan merata.

Hal tersebut memang benarlah adanya, namun setidaknya jikalau dicermati sejatinya hal tersebut hanyalah merupakan perbedaan dalam style leadership, yang tidak berbicara benar dan salah, tepat atau tidak tepat, namun berbicara ideal atau no ideal. Sejatinya konsep pembangunan yang adil dan merata merupakan pranata konsep pembangunan yang non-sentralistik, yang tidak hanya terpusat pada satu daerah/wilayah. (B.S. Muljana, 2001:3)

Semoga perbedaan pola atau gaya kepemimpinan tersebut, tidak mereduksi berbagai program pembangunan yang sudah ada dan berjalan saat ini, besar harapan gubernur dan wakil gubernur terpilih nantinya yang akan segera dilantik dapat melanjutkan program pembangunan yang sedang berjalan serta tetap memberikan prioritas terhadap pembangunan infrastuktur yang sudah ada (exist).

Terakhir, marilah kita lupakan perbedaan pilihan pada waktu pilkada yang lalu, saat ini bergegas kita satukan tekad untuk bahu membahu mendukung realisasi visi, misi dan program gubernur dan wakil gubernur terpilih nantinya yang akan segera dilantik, sebagai penutup tidak lupa kita ucapkan selamat datang gubernur (baru) sumatera selatan, selamat memimpin.

Oleh : RIO CHANDRA KESUMA, S.H., M.H. C. L. A.***

*** PENULIS IALAH PRAKTISI HUKUM, PEMERHATI SOSIAL & TENAGA AHLI DPR RI

====================================================

CATATAN RIO CK (8) DWI FUNGSI POLRI : SEBUAH ANOMALI, ALASAN IRRASIONAL DAN LANGKAH YANG INKONSTITUSIONAL

Jakarta – Tidak tahu entah apa yang dipikirkan oleh seorang Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, ketika pertama kali melemparkan isu (wacana) terkait penjabat tugas kepala daerah (Gubernur) di beberapa wilayah, yang akan habis masa jabatan-nya, lantas kekosongan pengisian jabatan (politis) tersebut akan diisi oleh seorang perwira (aktif) dari kalangan Kepolisian RI.

ISU KRUSIAL
Tentu, menyikapi pro dan kontra yang ada, persoalan tersebut tidak dapat dianggap sebagai ‘uji coba terhadap publik’ dari sebuah pelemparan wacana biasa, mengingat hal tersebut diproduksi oleh seorang Mendagri, yang memiliki tupoksi, kewenangan serta pengetahuan yang ‘pantas’ terkait hal tersebut. Oleh karenanya, wacana pengisian jabatan kepala daerah oleh seorang perwira polri aktif, tidak dapat dianggap angin lalu yang biasa – biasa saja, apalagi bahkan ketika wacana tersebut terealisasi.

Selanjutnya Presiden pun tidak dapat hanya dengan mengatakan bahwa publik belum apa – apa sudah berprasangka buruk (yang tidak – tidak) ikhwal wacana tersebut. Presiden tentu harus secara tegas bersikap (jika berbeda pandangan), sebab Mendagri secara tersurat mengatakan bahwa usul wacana tersebut telah diketahui bahkan tinggal menunggu persetujuan Presiden.

Begitupun dengan pihak lain terkait seperti Kapolri, yang dalam beberapa hari terakhir, berkembang dalam pemberitaan bahwa sesungguhnya pihak polri – lah yang pertama kali merespon wacana tersebut dan lantas mengusulkan 2 (nama) perwira aktif polri, yakni Irjen Iriawan untuk di Jawa Barat serta Irjen. Martuani di Sumatera Utara.

Tentunya, jika memang wacana ini didesain sebagai produk kebijakan rezim saat ini, maka sudah barang tentu hal tersebut senyatanya akan mendelegitimasi berbagai peratuan hukum positif yang ada, yang juga sarat akan mengulang catatan hitam kelam bangsa, baik dalam perspektif (perkembangan) demokrasi maupun dari sudut pandang ketatanegaraan.

ALASAN IRRASIONAL
Kemudian dapat dilihat juga beberapa alasan yang dikemukakan oleh pihak Mendagri dalam menyikapi wacana ini, yang senyatanya tidak-lah dapat dibenarkan serta terkesan hanya sebagai bentuk ‘menyiasati’, ketika diuji dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan, ataupun ketika disandarkan dengan norma kepatutan – kepantasan (etika), maupun ketika dihadapkan dengan situasi dan kondisi (bangsa) saat ini.

Adapun alasan pertama dalam wacana ini, yakni disandarkan pada keterbatasan Pejabat Eselon I dalam lingkup Kemendagri untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur di 17 Provinsi yang akan menggelar pilkada serentak pertengahan tahun 2018 mendatang. Hal ini tentu terbantahkan, sebab klausul dan prasyarat yang ada di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Permendagri No. 1 tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara, menyatakan bahwa “Penjabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintahan pusat/provinsi”. Hal mana yang sejatinya jika dirujuk kembali kedalam penjelasan Pasal 19 UU ASN, maka nomenklatur ‘pejabat tinggi madya’ tidaklah terbatas hanya dari kalangan Kemendagri, namun juga dapat berasal dari kementerian dan institusi eksekutif lainnya.

Pararel dengan ketentuan tersebut, hal lain yang juga lebih relevan ialah dengan menunjuk Penjabat Gubernur yang berasal dari pemerintah provinsi dengan jabatan yang setara untuk itu, umumnya yang ditunjuk ialah sekretaris daerah (sekda), namun dalam hal ini Kemendagri juga tidak membuka opsi dan pilihan untuk itu, disebabkan alasan yang mengkawatirkan tidak adanya netralitas dari penjabat gubernur tersebut yang berasal dari kalangan pemerintah provinsi atau dalam hal ini sekretaris daerah (sekda), sebab hubungan yang terlalu dekat dengan calon Gubernur (incumbent) di suatu wilayah, andaikata mencalonkan diri kembali menjadi calon gubernur, sehingga nantinya penjabat gubernur dapat menggerakan PNS untuk ikut pilkada serentak dan memihak salah satu calon perserta pilkada.

Menyikapi alasan yang kedua, tentu hal ini juga merupakan persepsi yang buruk dan membangun citra (image) yang negatif bagi kalangan ASN itu sendiri. Mendagri yang seharusnya dalam satu format kelembagaan terkait azas dekonsentrasi dengan pemerintahan provinsi, justru seharusnya melembagakan dan paling tidak lebih mempercayakan penjabat gubernur tersebut dari kalangan pemerintah provinsi itu sendiri. Mendagri tentu dapat melakukan pengawasan dan evaluasi secara langsung terhadap penjabat gubernur yang berasal dari kalangan pemerintah provinsi atau sekretaris daerah provinsi, andaikata ditunjuk menjadi penjabat gubernur.

Hal yang patut menjadi perhatian andaikatan penjabat gubernur tersebut berasal dari kalangan pemerintah provinsi, tentu netralitas bagi ASN sudah menjadi harga mati dan tidak dapat ditawar-tawar. Adanya keberpihakan apalagi menggerakan ASN untuk memilih dan memihak salah satu pasangan calon tertentu sebagaiamana yang didalilkan oleh Kemendagri, telah diatur secara jelas dan rigid, baik mengenai sanksi maupun pengaturan (adminisratif) lainnya, sebagaimana diatur di dalam UU ASN, UU Pilkada, dan PP No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Selanjutnya, alasan ketiga yang menjadi dasar dan justifikasi Kemendagri dalam menyikapi wacana ini ialah terkait dengan adanya kebijakan terdahulu (yurisprudensi) yang sudah pernah diberlakukan, yakni pengisian jabatan gubernur yang diambil diluar instansi Kemendagri dengan menunjuk Irjen. Pol. Carlo Brix Tewu yang menjabat gubernur Sulawesi Barat tahun 2016 menggantikan Ismail Zainudin, Sekda Provinsi Sulbar yang sebelumnya menjabat pelaksana harian (plh) Gubernur, dan juga Mayjen TNI Soedarmono yang diangkat sebagai Plt Gubernur Aceh tahun 2016.

Melihat alasan terakhir yang dikemukakan tersebut, tentu Kemendagri juga telah salah kaprah dalam melihat realitas (situasi) yang ada pada waktu penunjukan kedua penjabat gubernur tersebut, yang berasal dari kalangan TNI/POLRI. Perlu menjadi catatan pertama bahwa Irjen. Pol. Carlo Brix Tewu pada saat ditunjuk menjadi penjabat gubernur, sebelumnya menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kemenko Polhukam, kemudian yang kedua perlu juga diingat bahwa Mayjen TNI Soedarmono ketika ditunjuk sebagai penjabat gubernur, sebelumnya juga menjabat Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Mendagri, artinya kedua penjabat gubernur tersebut bukan lagi berstatus sebagai TNI/POLRI aktif seperti Irjen. Iriawan atau Irjen. Martuani, dan kedua penjabat gubernur tersebut telah beralih status menjadi PNS (ASN), lalu diangkat menjadi penjabat gubernur untuk menghadapi pilkada serentak tahun 2017 yang lalu.

ASPEK SUBSTANSIF (REGULASI) DAN NON – SUBSTANSIF
Mencermati persoalan dwi fungsi polri, yang banyak menimbulkan perdebatan dan pertentangan di berbagai kalangan, dengan disandarkan pada beberapa alasan yang telah dikemukakan, maka dapat dibedah ke dalam 2 (dua) perspektif, yang pertama yakni dengan melihat pada aspek yuridisnormatif, dalam arti disandarkan pada berbagai regulasi (ketentuan) di dalam peraturan perundang-undangan yang relevan dan terkait, dan kedua dengan melihat realitas aktual terhadap dinamika dan situasi politik yang ada.

Dalam perspektif pertama, isu ataupun wacana ini jelaslah sangat bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Artinya, jikalau nanti wacana tersebut terealisasi maka muncul sebuah kondisi anomali, yang secara sadar menegasikan beberapa peraturan perundang-undangan secara vertikal, yakni dari UU Kepolisian RI, UU ASN, dan UU Pilkada.

Senyatanya, dari perspektif yuridisnormatif wacana ini muncul takkala Mendagri menerbitkan Permendagri terbaru No. 1 tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara, hal mana yang sejatinya melalui Permendagri inilah membuka ruang penafsiran yang cukup luas, dan membuka jalan untuk menunjuk perwira aktif dari kalangan polri sebagai penjabat gubernur. Hal ini dikarenakan Permendagri 1/2018, menambahkan klausul pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintahan pusat, yang oleh sebagian kalangan berarti dapat juga ditujukan kepada perwira aktif polri yang setara untuk itu dalam konteks jabatan (eselon) administratif.

Namun, lagi lagi hal tersebut juga terbantahkan dikarenakan klausul ‘jabatan pimpinan tinggi madya’ telah ditentukan secara limitatif di dalam Pasal 19 UU ASN. Adapun ketentuan ‘jabatan lain yang setara’ di dalam UU ASN tersebut, juga tidak dapat dianalogikan dan dipersepsikan dari kalangan Kepolisian, sebab Polri memiliki tupoksi yang berbeda, sebagaimana lembaga/kementerian/lembaga non-kementerian lainnya.

Telah jelas di dalam konstitusi, di dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menerangkan bahwa Kepolisian memiliki tugas dalam ranah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat (security dan public order maintenance), yang berarti bahwa seorang anggota polri (aktif) tidak dapat ditarik-tarik dalam penyelenggaraan tugas lainnya, kecuali dalam konteks penugasan di lembaga terkait ataupun telah alih status menjadi seorang ASN, atau bahkan telah mengundurkan diri (tidak aktif lagi di Polri).

Artinya, haram hukumnya seorang anggota polri (aktif), ditarik – tarik dalam tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan menduduki jabatan politis (administratif). Jikalau memang ingin dipaksakan seorang anggota polri (aktif) menduduki jabatan di luar institusi Kepolisian, maka seorang anggota polri haruslah terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun (dini) dari dinas kepolisian, hal mana yang sejatinya tertuang dan diatur jelas di dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri dan Pasal 109 ayat (2) UU ASN.

Sangatlah jelas andaikata wacana penunjukan perwira aktif polri menjadi penjabat gubernur di suatu wilayah (daerah), maka hal tersebut telah mencampur adukan peran Polri sesuai tupoksi-nya dalam konteks security dan public order maintenance dengan tugas penyelenggaraan pemeritah daerah pada ranah politis-administratif. Hal ini jelas telah men-stimulate ke ranah dwi fungsi polri, yang tentu sangat tidak baik dalam tatanan bangunan ketatanegaraan di dalam konstitusi dan juga memiliki ekses negatif dalam perkembangan demokrasi dewasa ini.

Dekonstruktifikasi sebagaimana dimaksud sebelumnya, juga sangat terkait jika dilihat dari perspektif kedua, yakni dengan melihat realitas aktual terhadap dinamika dan situasi politik yang ada. Tentu cukup ‘menggelitik’ justifikasi yang coba dibangun oleh pihak Kemendagri untuk meluruskan dan membenarkan pandangan terkait penjabat gubernur yang diisi dari kalangan perwira polri (aktif), yakni dengan mengaitkan isu stabilitas, kondusivitas ditengah kerawanan di beberapa wilayah, yang akan menghadapi pilkada serentak tahun 2018 mendatang.

Dari total jumlah 171 daerah, dengan rincian 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten yang akan menggelar perhelatan pilkada, Pihak Kemendagri mempersepsikan 2 (dua) wilayah provinsi, yakni Sumatera Utara dan Jawa Barat sebagai zona rawan, sehingga perlu mendapat perhatian lebih dari stakeholder terkait. Hal ini juga dapat dilihat sebagai sebuah kesesatan berpikir (fallacy) andaikata dikaitkan dengan wacana pengisian jabatan gubernur oleh seorang perwira aktif polri. Apakah lantas dengan seorang perwira aktif polri mengisi jabatan gubernur sebagaimana dimaksud, maka pelaksanaan pilkada pada zona wilayah rawan akan dijamin dapat berjalan secara aman dan lancar (clean and celar) ?

Di sinilah letak kekeliruhan yang perlu diluruskan sebab tidak ada jaminan dan tidak ada hubungan yang relevan antara penunjukan penjabat gubernur dari kalangan perwira aktif (polri) dengan isu stabilitas, kondusivitas ditengah zona kerawanan suatu wilayah dalam menghadapi pilkada, sebab perlu diingat bahwa struktur pengamanan sudah terdapat di setiap wilayah, di masing-masing wilayah telah ada Kepolisian Daerah (Polda) yang dipimpin oleh seorang perwira tinggi polri (Kapolda), begitupun dari kalangan TNI. Artinya, ikhwal urusan keamanan dan ketertiban, Mendagri cukup percayakan pada institusi formal yang sudah ada dan berjalan.

Hal lain juga yang masih terkait, ialah terkait dengan realitas politik yang ada dalam pilkada, di mana sensitifitas publik tidak dapat dihilangkan dari persepsi yang melihat adanya beberapa pasanan calon dalam pilkada, yang diikuti purnawirawan Polri/TNI. Meskipun netralitas bagi penyandang penjabat gubernur merupakan prasyarat mutlak, namun adanya ikatan komando (perintah atasan) yang dimiliki oleh seorang perwira polri (aktif) tentu tidak dapat diindahkan begitu saja, sebab kepentingan (elite) politik dalam penyelenggaraan pilkada di beberapa daerah sangatlah besar, bahkan ketika dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilihan presiden mendatang.

Dari beberapa catatan diatas, tentu dapatlah dilihat bahwa wacana menempatkan perwira polri (aktif) sebagai penjabat gubernur di beberapa wilayah pada perhelatan pilkada serentak tahun 2018 mendatang, merupakan sebuah langkah yang irrasional, inkonstitusional, dan sangat bertolak belakang dengan bangunan ketatanegaraan dalam perspektif konstitusi dan demokrasi.

Dipublikasikan pada 07 Februari 2018

Oleh : Rio Chandra Kesuma, S. H., M. H., C. L. A. ***

***Penulis ialah Praktisi (Penggiat) Hukum, Tenaga Ahli DPR RI, dan Ketua IMMH UI

===================

CATATAN RIO CK (7) : KPK, KORUPSI DAN KITA

Jakarta – Memperingati hari anti korupsi yang jatuh setiap 9 desember, tentu cukup menarik untuk melihat kembali perkembangan dan perjalanan panjang penegakan hukum (law enforcement) di bidang korupsi yang telah berjalan selama ini.

ORKESTRA KPK
Rasanya, publik setiap waktu selalu disuguhkan dengan pemberitaan (dalam media) dan perdebatan (dalam gagasan) mengenai serangkaian tindakan dan operasi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum, terkhusus dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Orkestra Pemberantasan Korupsi yang utamanya dilakukan oleh KPK selalu mendapat tempat utama yang menghiasi sensitifitas (opini) publik. Lantas sudah sampai sejauh manakah keberhasilan KPK dalam penanggulangan tindak pidana korupsi ?

Tentu, akan banyak alat ukur (indikator) yang dapat digunakan dalam melihat kinerja dan keberhasilan KPK dari sejak awal berdiri (terbentuk). Salah satunya tentu dengan melihat indeks persepsi korupsi (corruption perception index), yang digunakan untuk mengukur tingkat korupsi di suatu negara (wilayah).

INDEKS PERSEPSI KORUPSI (IPK)
Dapat dilihat beberapa tahun terakhir, berdasarkan data Transparency International pada tahun 2014 skor Indonesia 34 (dari rentang 0 – 100), dan menempati urutan (peringkat) ke 107 dari 175 negara, kemudian pada tahun 2015 skor Indonesia 36 dengan urutan 88 dari 168 negara, lalu pada tahun 2016 skor Indonesia naik satu point menjadi 37, dan menempati peringkat 90 dari 176 negara.

Dari catatan tersebut tentu dapat dilihat bahwa meskipun IPK Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun Indonesia tetap berada di bawa rata-rata, yang mana memperlihatkan sesunggunya bahwa IPK Indonesia masih tergolong rendah.

Realitas tersebut justru berbanding terbalik dengan persepsi publik (masyarakat) pada umumnya dengan kinerja KPK, di mana publik seakan ‘terbuai’ dan ‘terlena’ dengan ‘nyaring’-nya pergelaran orkestra yang dinyanyikan oleh KPK, yang sebenarnya tidaklah memberikan feedback yang significant dalam upaya penanggulangan (meminimalisir) permasalahan korupsi di Indonesia.

Sebaliknya, dalam paradigma terbalik, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK justru memberikan pelajaran (pedoman) yang berharga bagi calon (potensial) koruptor. Dengan massive-nya ekspose di berbagai media dan pemberitaan yang dilakukan oleh KPK, hal tersebut justru membuat (calon) koruptor yang belum ‘terjebak’ dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) versi KPK, akan dapat menghindar dan mensiasati proses suap-menyuap (korupsi) yang akan terjadi (dilakukan).

Katakanlah, koruptor tentu akan sangat menghindari, atau tidak akan lagi menggunakan media komunikasi (handphone) dalam berkomunikasi terkait rangkaian tindak pidana korupsi yang (akan) dilakukan. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa KPK dalam pelaksanaan-nya selalu melakukan penyadapan melalui alat komunikasi.

Ataupun, para koruptor tidak akan lagi menggunakan alat pembayaran (transefer secara online) maupun dengan menggunakan uang tunai (cash), karena hal tersebut selalu menjadi bukti utama KPK dalam setiap OTT yang dilakukan. Ataupun cara dan media lainnya yang selama ini ‘sangat konvensional’ dilakukan oleh KPK.

Sejatinya, KPK dalam perjalanannya telah offside dari khittah dan marwah-nya dalam melakukan pemberantasan korupsi. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah yang cukup rumit bagi ‘kita’ dan semua pemangku kepentingan (stakeholder) terkait untuk mengembalikan lagi KPK sesuai dengan khittah dan marwah-nya, ditengah derasnya sensitifitas publik terhadap KPK, dan opini publik yang juga sudah mulai ‘mati rasa’ dan ‘salah arah’ dalam melihat KPK.

FILOSOFI VERSUS ANALOGI
Stakeholder terkait tentu haruslah melihat kembali sandaran filosofis dari pembentukan lembaga KPK. Sejatinya dapat dilihat bahwa KPK saat ini seakan berjalan dalam satu arah, namun salah tujuan. Bila dianalogikan dengan ‘pembasmi(an) hama’ yang harus dilakukan di puncak gunung, yang mana telah diberikan jalur khusus untuk secara langsung mendaki titik puncak gunung tersebut, di mana tidak dimiliki oleh para pendaki lainnya, namun pembasmi hama (yang dianalogikan KPK tersebut) masih berkutat untuk membasmi hama di kaki gunung yang sangat landai dengan riuh, gaduh serta berputar-putar, tidak langsung menuju puncak untuk membasmi hama yang ada di puncak gunung tersebut.

Pararel dengan analogi tersebut, inilah realitas yang ada di KPK hari ini, KPK tidak mengarahkan skala prioritas terhadap kasus–kasus korupsi yang mempunyai nilai (value) substansial dan nilai material yang besar (high value), seperti; pada bidang SDA, Migas, Pertambangan, Perbankan dan bidang-bidang strategis lainnya (mega corruption), dan tidak juga menyasar pada korupsi di sektor penerimaan dan/atau pendapatan negara yang mana orientasi akhirnya ialah pada cost and asset recovery.

Hal tersebut lantas bukan berarti KPK harus ‘tutup mata’ terhadap kasus-kasus korupsi lainnya, akan tetapi di sinilah peran dari lembaga (institusi penegak hukum) lain, selain KPK untuk menanggulanginya (fungsi koordinasi dan supervisi dengan Kepolisian dan Kejaksaan).

Kemudian, begitu juga dengan arah penanggulangan korupsi oleh KPK, yang sejatinya tidak berimbang diantara sektor hulu dan hilir. Sektor hulu tidak hanya dimaksudkan dalam konteks preventif (pencegahan), yang ukuran keberhasilannya ialah berkurangnya pelaku korupsi atau ketika para pelaku korupsi terhenti dan sadar diri untuk tidak melakukan korupsi.

Namun, hal lain dalam konteks preventif di sektor hulu ialah sejauh mana KPK dapat menstimulate lembaga penegak hukum lain, yakni Kepolisian dan Kejaksaan, agar terhindar dari praktik korupsi (zero corruption), hal mana yang sesungguhnya juga searah dengan mandat KPK sebagai triger mechanism; yang berarti sinergitas antar penegak hukum perlu dilakukan, dan tidak dapat berjalan sendiri tanpa ditunjang (saling mendukung) antar sesama penegak hukum.

KONSTRUKSI FUNGSI KPK
Selanjutnya, pada sektor hilir yang saat ini seakan menjadi titik berat dari arah dan visi KPK, setidaknya perlu diilhami dan diresapi kembali tupoksi KPK sebagaimana yang ada di dalam ketentuan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002, yang terdiri dari koordinasi, supervisi, penindakan (refresif), pencegahan (preventif) serta monitoring (pengawasan).

Dalam hal ini apabila melihat konstruksi norma tersebut, secara filosofis dapatlah dilihat mengapa justru fungsi penindakan tidaklah diletakan pada point pertama (di awal) dari tugas KPK tersebut.

Adapun makna implisit jika dilihat kembali risalah pembentukan dari ketentuan tersebut (memorie van toelichting), yakni sebenarnya fungsi penindakan yang berisi serangkaian tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bukanlah satu-satunya fungsi utama KPK, dan hal tersebut merupakan salah satu bagian dari fungsi dan tugas pokok KPK.

Konsekuensi logis hal tersebut berarti, KPK tetaplah harus mengedepankan fungsi (strategis) lainnya, yakni koordinasi dengan instansi (penegak hukum), supervisi, penindakan hingga pencegahan dan monitoring atau pengawasan. Inilah ‘asbabun nuzul’ dari tupoksi KPK yang sebenarnya.

SEMANGAT PEMBERANTASAN KORUPSI
Pada akhirnya mengakhiri opini singkat ini, marilah kita tetap berikhtiar untuk selalu memandang permasalahan ini secara objektif serta tidak selalu mengesankan catatan kritis (konstruktif) yang dialamatkan terhadap KPK, sebagai sebuah cara pandang (pandangan) yang tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi (pro koruptor).

Sesunggunya ditengah derasnya pro dan kontra dalam memandang permasalahan korupsi dan solusinya, yang sejatinya sudah tertanam secara sistemik di hampir seluruh tatanan kehidupan (masyarakat) berbangsa dan bernegara, rasanya dapat ditarik ‘benang merah’ bahwa sesungguhnya kita memiliki satu persepsi yang sama dalam semangat penanggulangan (pemberantasan) korupsi.

Cukuplah generasi kita masa kini, yang masih terus berkutat dengan polemik korupsi. Semoga ke depan kita dapat meminimalisir permasalahan korupsi yang dimulai sejak dini dan dari diri sendiri, agar kelak nantinya pil pahit korupsi sebagai masalah besar bangsa dapat ditanggulangi, dan tidak diwariskan kembali (be heritage) kepada anak-cucu bangsa, generasi muda ke depan (selanjutnya). Salam Integritas !

Dipublikasikan pada 09 Desember 2017 dalam rangka Memperingati Hari Anti Korupsi

Oleh : Rio Chandra Kesuma, S.H., M.H.***

***Penulis ialah Inisiator #IndonesiaBerintegritas, Penggiat Hukum, Tenaga Ahli DPR RI, dan Ketua IMMH UI

===============

CATATAN RIO CK (6) : MENYOAL PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI IKHWAL ALIRAN KEPERCAYAAN

Jakarta – Beberapa waktu terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat sorotan yang cukup tajam, pasca memutus ikhwal penganut aliran kepercayaan, di mana bagi penganut aliran kepercayaan (penghayat) yang ada di seluruh wilayah Indonesia setelah putusan MK tersebut, akan mendapatkan akses layanan publik yang sama dengan warga negara (beragama) lainnya.

Putusan MK menyatakan bahwa ‘status penghayat kepercayaan’ dapat dicantumkan dalam kolom agama pada Kartu Keluarga dan KTP elektronik tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.

Sebelumnya, ketentuan yang berlaku (ada) ialah bagi penganut aliran kepercayaan ‘dikosongkan’ pada kolom agama/kepercayaan yang dianut, namun tetap dilayani dan dicatat dalam databese kependudukan.

POKOK UJI MATERI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Adapun permohonan constitusional review yang diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim yang mewakili komunitas penganut aliran kepercayaan di Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menggugat ketentuan yang ada di dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Adapun alasan dan latar belakang dari para penggugat (pemohon) uji materi UU Administrasi Kependudukan tersebut, dalam uraiannya mengemukakan bahwa ketentuan yang memerintahkan agar mengosongkan kolom agama bagi penganut kepercayaan, merupakan bentuk nyata ‘keengganan’ negara mengakui keberadaan mereka, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mereka mendapat perlakukan yang diskriminatif.
  
Adapun beberapa konsekuensi yang dirasakan oleh komunitas penganut aliran kepercayaan dari pengosongan kolom agama di KTP ialah kesulitan yang dialami dalam memperoleh akses publik dalam kehidupan sosial masyarakat.

Konkritnya, para penganut aliran kepercayaan kesulitan memperoleh pekerjaan, proses pernikahan yang tidak diakui negara – sehingga anak-anak (keturunannya) tidak mendapat akte kelahiran dan kartu keluarga yang menyebabkan sulit untuk memperoleh (akses) pendidikan. Selain itu juga sering dianggap sebagai penganut aliran sesat, sehingga tidak diterima jika dimakamkan di pemakaman umum.

Terkadang penganut aliran kepercayaan harus (berbohong) memilih salah satu agama dari 6 (enam) agama yang diakui di Indonesia, demi mendapatkan status kewarganegaraan yang valid dalam administrasi kependudukan.

PERTIMBANGAN DAN PUTUSAN MK
Seiring proses persidangan yang berjalan di MK, dalam uraian dan pertimbangan utama putusannya MK menilai bahwa kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagaimana dijamin dan diatur di dalam konstitusi haruslah dipandang sebagai sebuah hak konstitusional serta bukan merupakan pemberian agama.

MK juga dalam pertimbangannya berpegang dan berpedoman pada Piagam Duham dan Konvenan Internasional tentang hak-hak sosial dan politik yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, beragama dan berkeyakinan, dan kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan.

MK berpandangan bahwa perbedaan pengaturan (pengosongan kolom ‘agama’ bagi penganut aliran kepercayaan) dalam hal pencantuman elemen data penduduk tidak didasarkan pada alasan yang konstitusional. MK selanjutnya menyatakan bahwa pengaturan tersebut telah mendiskreditkan dan mendiskriminasi warga negara penganut (penghayat) aliran kepercayaan dalam mengakses pelayanan publik.

Oleh karenanya MK memutuskan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan ‘inkonstitusional’ dan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

ISU KRUSIAL
Melihat putusan MK yang senyatanya bersifat final and binding, secara langsung menimbulkan reaksi dan gejolak yang cukup massive dari berbagai stakeholder terkait. Rasanya perlu menjadi catatan dan patut untuk dikritisi ialah terkait dengan proses uji materi undang-undang tersebut, di mana minimnya ruang publik dan stakeholder keagamaan terkait (lintas agama) untuk berpartisipasi dalam arti memberikan input (pendapat) dan menanggapi perdebatan di dalam proses uji materi yang berlangsung.

Seharusnya MK perlu menginsyafi bahwasannya pesoalan mengenai ‘penganut aliran kepercayan’ merupakan sebuah hal yang sangat sensitif dan berpretensi besar menimbulkan gejolak di masyarakat. Sehingga, sudah sepatutnya mengakomodir kepentingan para pihak lainnya, atau dalam hal ini element masyarakat ber(agama).

Andaikata, MK membuka ruang partisipasi publik yang seluas-luasnya pada saat proses uji materi tersebut dilakukan, tentu hal tersebut akan dapat mengurangi atau setidak-tidaknya meminimalisir kontroversi yang terjadi.

Proses persidangan yang lebih kurang 1 (satu) tahun lamanya sejak uji materi tersebut didaftarkan (teregister) di MK, tidak dijadikan sebagai kesempatan untuk memberikan ruang dan waktu bagi semua pihak, baik yang pro dan kontra, dalam menanggapi perkara uji materi tersebut.

Selanjutnya, secara substantif terkait dengan materi permohonan dari penganut aliran kepercayaan (non-agama), pada prinsipnya MK juga telah keliru menempatkan kedudukan ‘aliran kepercayaan’. Dalam hal ini MK secara ekstensif memandang bahwa penganut aliran (penghayat) kepercayaan merupakan domain yang setara (sebanding) dengan agama.

Kekeliruan inilah yang sejatinya berpretensi menimbulkan perdebatan dan konsekuensi lanjutan yang panjang serta berlarut-larut. Tanpa bermaksud untuk lebih jauh menanggapi isu krusial dalam perdebatan ini, yakni terkait dengan hal – hal sensitif mengenai essensi ajaran agama ataupun aliran kepercayaan, namun senyatanya MK dalam putusannya telah menempatkan ‘aliran kepercayaan’ yang dipersamakan dengan ‘agama’.

Secara lebih lanjut, MK telah memberikan legalisasi kepada aliran kepercayaan, yang sama hal-nya dengan legalisasi terhadap 6 (enam) agama yang berlaku sebelumnya.

Tentu, legalisasi terhadap aliran kepercayaan ini akan memiliki implikasi dan konsekuensi lanjutan yang luas dan perlu diperhatikan secara serius, sebab jika tidak akan menimbulkan permasalahan baru dalam suasana kehidupan sosial-keagamaan.

Putusan MK tersebut tentu tidak hanya berimplikasi terkait soal administrasi kependudukan semata, namun juga harus menjamin dan mengakomodir semua kepentingan dan hak konstitusional dari penganut aliran kepercayaan yang telah dilegalisasi oleh MK.

ASPEK SUBSTANTIF
Rasanya memang perlu dilihat kembali keberadaan penganut aliran kepercayaan sebelum Putusan MK tersebut. Hal ini penting untuk melihat sudah sampai sejauh mana negara mengakomodir dan memberikan akses di semua bidang kepada para pengangut aliran kepercayaan.

Penganut aliran kepercayaan sejatinya, meski tidak dicantumkan di dalam kolom agama, namun tetaplah tercatat di dalam databese administrasi kependudukan. Begitupun dengan status dan akses sosial di masyarakat, yang sejatinya tidak dibedakan dengan warga negara lainnya.

Penganut aliran kepercayaan memang telah ada, jauh sebelum agama ada. Hal mana yang sejatinya didalilkan oleh Maria Farida Indrati, salah seorang Hakim MK. Namun, aliran kepercayaan tersebut tidaklah ditempatkan sebagai satu kesatuan yang sama dan dipersamakan dengan ‘agama’.

Sesungguhnya, sejak zaman pra kemerdekaan, orde baru, orde lama, rezim reformasi dan pasca reformasi, negara telah mengakui keberadaan ‘penganut aliran kepercayan’ yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Hal mana yang sejatinya telah dijamin di dalam konstitusi.

Negara tidak pernah untuk membatasi dan/atau ‘ikut campur’ dalam urusan ritual (spiritual) aliran kepercayaan, apapun itu. Negara justru hadir menjamin keberlangsungan penganut aliran kepercayaan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Mana Esa, sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.

Hadirnya negara dapat dilihat dari sejarah berdirinya lembaga Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) ataupun Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Begitupun dengan organ instansi vertikal (kementerian), yang dalam hal ini Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang mana tugas pokoknya memfasilitasi para penganut aliran (penghayat) kepercayaan, yang telah diverifikasi dan terdaftar oleh pemerintah.

Realitas ini memperlihatkan bahwasannya salah besar anggapan yang menyimpulkan bahwa negara selama ini ‘abai’ dan tidak sama sekali memperhatikan para penganut aliran kepercayaan yang senyatanya ada di sebagian wilayah Indonesia, di mana berdasarkan Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi) pada tahun 2017, terdapat 187 kelompok penghayat kepercayaan yang diakui dan terdaftar oleh pemerintah.

Begitupun dengan argumentasi yang menyandarkan pada ketentuan mengenai hak asasi manusia (HAM), yang menyatakan bahwa konstitusi telah  menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Hal tersebut tentu perlu dipahami dengan melihat kembali entitas agama yang senyatanya berbeda dengan entitas aliran kepercayaan, baik dari sifat (jenis), karakter, konfigurasi dsb.

Selanjutnya juga perlu diingat bahwa klausul mengenai HAM tersebut secara limitatif dibatasi oleh ketentuan yang ada di dalam Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain, dan pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.

Akhirnya, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa putusan MK ikhwal aliran kepercayaan, tidaklah dapat dipandang sebagai sebuah langkah yang progresif dan forward looking, namun sebaliknya (backward looking).

Terlepas dari perdebatan dan kontroversi yang ada, baik ketika dikaitkan dengan pengakuan dari negara secara de facto maupun secara de jure (legalisasi) maupun ketika dihubungkan dengan pemenuhan HAM yang secara konstitusional dijamin dan harus dipenuhi.

Maka, kesemua hal tersebut haruslah dimaknai secara kontekstual dan objektif (non – parsial), di mana sejatinya penganut aliran kepercayaan telah diakui (ada) sejak dahulu kala, hanya saja political will pemerintah yang tidak menempatkan aliran kepercayaan sebagai domain yang sama dengan ‘agama’, namun pada praktiknya lebih dekat ke arah tradisi atau dianggap sebagai warisan budaya lokal (heritage) masyarakat setempat dalam ritual spiritual (budaya lokal). Begitupun dengan pemenuhan HAM, yang sejatinya juga tidak mutlak (non-derogable right), akan tetapi terbatas, jika diatur dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan dan juga dibatasi oleh hak orang lain dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Oleh : Rio Chandra Kesuma, S.H., M.H., C. L. A. ***
***Penulis ialah Praktisi (Penggiat) Hukum
Dipublikasikan pada 07 Desember 2017

===========

CATATAN RIO CK (5) : KONTROVERSI PENETAPAN TERSANGKA (KEMBALI) OLEH KPK

Jakarta – Baru-baru ini publik kembali dihangatkan dengan topik penetapan kembali Setya Novanto (SN), yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, oleh KPK. Informasi tersebut pada awalnya, dipicu ketika surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) atas nama Setya Novanto tertanggal 03 November 2017 yang ditandatangani oleh Direktur Penyidikan KPK, Aris Budiman beredar ke media, terutama di kalangan jurnalis (media).

Terlepas dari keabsahan (benar – tidaknya) SPDP sebagaimana dimaksud yang beredar ke media, ataupun juga tanpa bermaksud mendahului proses yang sedang dan/atau akan berjalan nantinya, karena sampai dengan tulisan singkat ini dibuat belum ada pemberitahuan secara resmi, baik dari lembaga yang mengeluarkan (KPK) ataupun pihak terkait lainnya, yang mengklarifikasi kebenaran SPDP tersebut, maka melalui ruang opini singkat ini akan coba ditelisik, ikhwal kontroversi penetapan tersangka (kembali) oleh KPK, terhadap seseorang yang sebelumnya telah memenangkan gugatan pra-peradilan, yang telah menggugurkan status tersangka-nya.

PERJALANAN KASUS
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa penetapan status tersangka terhadap SN telah dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada Jum’at (30/09/2017). Adapun beberapa pertimbangan Hakim Tunggal Cepi Iskandar dalam amar putusannya menilai bahwa penetapan tersangka seharusnya dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara, bukan di awal tahap penyidikan guna menjaga harkat dan martabat seseorang (calon tersangka), kemudian alat bukti yang diajukan dalam perkara dinilai telah daluarsa, karena telah digunakan untuk tersangka lainnya yang sudah divonis bersalah, Hakim berpandangan bahwa alat bukti yang sudah digunakan untuk perkara sebelumnya, tidak dapat digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.

Menanggapi kontroversi penetapan tersangka (kembali) oleh KPK, terhadap seorang tersangka yang sebelumnya telah memenangkan gugatan pra-peradilan, pada dasarnya perlu dipahami secara runtut dan objektif.

ISU KRUSIAL
Pada prinsipnya, perlu dipahami bahwa pengujian sah atau tidaknya penetapan status tersangka yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, atau dalam hal ini KPK, melalui lembaga pra-peradilan tidaklah mengurangi substansi (pokok) perkara, atau dalam arti aspek materiil (essensi) dari suatu perkara (tindak pidana).

Artinya, mekanisme pra-peradilan hanyalah menguji aspek prosedural (tata cara) dari suatu tahapan/proses yang dilalui oleh sebuah lembaga yang berwenang, yang dijalankan oleh aparatur-nya, dalam memenuhi proses hukum acara dan tahapan administratif secara prosedural dari suatu perkara (tindak pidana).

Pada hakikatnya lembaga pra-peradilan dalam konteks hukum acara sebagaimana diatur secara limitatif di dalam Pasal 1 angka (10) jo Pasal 77 huruf (a) KUHAP berfungsi sebagai sarana check and balances control bagi para pihak dalam perkara agar dapat men-challenge aparatur penegak hukum, guna menjamin hak dan kepentingan hukum-nya.

Begitupun ketika objek pra-peradilan diperluas oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No. 21 /PUU-XII/2014 yang sejatinya juga menguji keabsahan penetapan status tersangka oleh aparatur penegak hukum (penyidik), yang dilihat dari tindakan aparatur penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti serta menghindari kesewenang-wenangan penyidik dalam menentukan status tersangka terhadap seseorang, yang diharapkan agar lembaga pra-peradilan dapat menjamin perwujudan due process of law yang melindungi harkat, martabat dan kedudukan (HAM) seseorang dalam proses peradilan pidana.

Pararel dengan klausul tersebut, gugurnya status tersangka yang telah ditetapkan oleh KPK melalui lembaga pra-peradilan, secara tidak langsung juga tidak mengurangi ataupun mereduksi kewenangan lembaga penegak hukum, atau dalam hal ini KPK untuk kembali melakukan penetapan status tersangka.

Konkritnya, sepanjang KPK memiliki 2 (dua) alat bukti baru yang sah (berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara) sebagaimana merujuk ketentuan dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan MA No. 4 tahun 2016 ataupun jika tidak, menurut MK dalam tafsir-nya terkait alat bukti tersebut, tetap dimungkinkan menggunakan alat bukti yang telah digunakan pada perkara sebelumnya, asalkan alat bukti tersebut telah disempurnakan secara substansial dan bukan sebagai alat bukti yang sifatnya formalitas semata, sehingga dapat dikatakan sebagai alat bukti baru yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya (Putusan MK No. 42/PUU-XV/2017).

Jelaslah bahwa dari sudut hukum acara, KPK dapat seketika dan dengan leluasa kembali menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang telah memenangkan pra-peradilan sebelumnya.

Tidak ada dalil sedikitpun yang dapat membenarkan bahwa penetapan kembali status tersangka terhadap seseorang yang telah memenangkan gugatan pra-peradilan (sebelumnya) dipandang sebagai sebuah langkah yang illegal dan menyalahi ketentuan yang berlaku (ada).

Secara formil penetapan status tersangka oleh KPK, tentulah melalui sebuah proses yang panjang, sebelum pada akhirnya masuk ke dalam tahap penyidikan dengan digelarnya perkara untuk status tersangka. Di dalam ketentuan KUHAP-pun penyidik, atau dalam hal ini penyidik KPK memiliki kewenangan yang subjektif yang dijamin oleh Undang-Undang untuk menetapkan (kembali) status tersangka terhadap seseorang yang diduga terkait dengan tindak pidana.

Hanya saja, KPK juga tidak dapat menutup mata dengan proses pra-peradilan sebelumnya. Evaluasi secara menyeluruh dalam perkara sebagaimana dimaksud mutlak harus dilakukan, agar penetapan status tersangka sebagaimana dimaksud tidak kembali lagi ‘digugurkan’ oleh lembaga pra-peradilan.

STUDI BANDING
Penetapan (kembali) tersangka oleh KPK, setelah digugurkan oleh lembaga pra-peradilan, pernah terjadi pada beberapa kasus perkara korupsi sebelumnya, sebut saja terhadap perkara korupsi Mantan Walikota Makasar, Ilham Arief Sirajuddin, begitupun terhadap Mantan Bupati Sabu Raijua NTT, Marthen Dira Tome, ataupun terakhir terhadap Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman.

Hal tersebut berarti, bukan baru pertama kali ini KPK kembali menetapkan status tersangka terhadap seseorang tersangka yang telah memenangkan gugatan pra-peradilan, bahkan di lembaga Kejaksaan, Korps Adhyaksa sampai 4 (empat) kali secara berulang menetapkan status tersangka terhadap La Nyalla Mattaliti setelah memenangkan gugatan pra-peradilan sebanyak 3 (tiga) kali.

Catatan kritis yang justru harus dialamatkan kepada KPK ialah mengapa terhadap beberapa kasus sebelumnya, misalkan terhadap perkara Budi Gunawan ataupun Hadi Poernomo, di saat KPK telah ‘kalah’ di lembaga pra-peradilan, namun tidak kembali menetapkan status tersangka. Apakah pure hal tersebut dilakukan karena faktor tekhnis perkara, sehingga tidak memungkinkan ditetapkan kembali status tersangka atau karena faktor lainnya diluar ikhwal tekhnis perkara.

Secara lebih lanjut, argumentasi yang mendasarkan untuk menghormati vonis (putusan) lembaga pra-peradilan, atau secara umum lembaga yudikatif, pada hakikatnya tidak dapat diartikan secara serta merta sehingga ‘haram’ hukumnya bagi aparatur penegak hukum untuk kembali menetapkan status tersangka.

Hal tersebut secara prinsip haruslah dimaknai secara kontekstual, sehingga tidak dapat dijadikan justifikasi (pembenaran) yang dapat menghilangkan kewenangan KPK untuk kembali menetapkan status tersangka.

Menghormati vonis (putusan) lembaga pra-peradilan, hanyalah dapat dimaknai sepanjang KPK menerima dan menjalankan vonis (putusan) sebagaimana dimaksud, dan tanpa sedikitpun mengurangi kebebasan dan kewenangan yang dimiliki oleh KPK untuk kembali menetapkan status tersangka.

Sebagai catatan akhir, point penting yang harus menjadi evaluasi lembaga anti rasuah (KPK), dengan berkaca kepada ‘gagal’ dan ‘gugur’ nya status tersangka dugaan perkara korupsi, yang telah berulang kali, rasanya KPK juga harus berbenah dan melakukan evaluasi (internal) secara menyeluruh, terlepas dari kontroversi vonis (putusan) lembaga pra-peradilan.

Produk putusan (vonis) pra-peradilan tentu harus dimaknai KPK sebagai catatan konstruktif dari lembaga yudikatif, yang sejatinya juga tidak dapat dipandang sebelah mata, dan tidak diindahkan oleh KPK. Sebab, bagaimanapun proses pra-peradilan yang telah banyak memenangkan (calon) tersangka koruptor, hal tersebut menandakan bahwa ada yang salah di tubuh KPK.

Meskipun, publik dapat menerima dan tetap menaruh apresiasi dan attensi yang tinggi terhadap KPK, namun KPK juga tidak dapat berbangga dan menutup diri untuk melalakukan evaluasi serta perbaikan, agar tidak banyak (lagi) tersangka atas dugaan korupsi, dapat memenangkan gugatan pra-peradilan, yang menggugurkan statu tersangka-nya.

Dipublikasikan pada 08 November 2017

Oleh :
Rio Chandra Kesuma, S.H., M.H., C. L. A.

Penulis ialah Peneliti, Praktisi (Penggiat) Hukum, Ketua IMMH UI, dan Tenaga Ahli (Profesional) DPR RI.

====≠================

CATATAN RIO CK (4) : MEREALISASIKAN DENSUS TIPIKOR POLRI

Jakarta – Mengawali tulisan ini dapat dimulai dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut : apa yang salah dengan adanya inisiasi pembentukan densus tipikor polri ? jikalau semua tupoksi dan kewenangannya diatur secara rigid (terperinci), dan dengan ikhtiar serta semangat dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, lantas apa yang harus ditakutkan ? lalu, dalam konteks perbaikan institusi polri dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, mengapa pembentukan densus tipikor polri tidak seharusnya didorong (support) ?

Rasanya beberapa pertanyaan ini menjadi contra argument dengan berbagai pandangan (pendapat) dalam perdebatan yang dimunculkan oleh para penggiat anti korupsi, dan sejumlah koalisi masyarakat yang ‘katanya’ mendukung pemberantasan korupsi.

Melalui opini singkat ini, perlu diketengahkan beberapa hal terkait dengan wacana pembentukan densus tipikor polri.

Secara prinsip, rasanya tidak perlu untuk ‘anti’ dan ‘alergi’ dengan densus tipikor polri, prinsipnya sepanjang dan selama ada komitmen polri yang ingin berpartisipasi secara aktif dan partisipatif dalam penanganan tindak pidana korupsi, tentulah harus didorong dan disupport bukan malah sebaliknya.

LATAR BELAKANG
Perlu juga dilihat awal mulanya wacana ini muncul, yakni ketika banyak pihak, utamanya dari mitra strategis polri, dalam hal ini komisi III DPR RI, mempertanyakan efektivitas penanganan perkara korupsi di tubuh polri yang mana secara kuantitatif sangat tidak sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya.

Di sinilah muncul inisiasi pembentukan densus tipikor polri, sebagai jawaban sekaligus tantangan (pembuktian) bagi polri dalam penanganan perkara korupsi. Dalam ulasannya pimpinan polri mengeluhkan minimnya anggaran dan keterbatasan fasilitas yang dimiliki polri dalam penanganan perkara korupsi.

Selaras dengan hal tersebut, dimunculkan ide untuk kembali merealisasikan wacana pembentukan densus tipikor polri, yang sejatinya telah pernah ada sebelumnya pada masa Kapolri Jend. Sutarman beberapa waktu yang lalu, namun tidak sempat untuk terealisasi.

ISU KRUSIAL
Setidaknya perlu dilihat dari 2 (dua) aspek, jikalau nantinya densus tipikor polri benar – benar akan terealisasi, hal mana yang seharusnya menjadi pembahasan prioritas di dalam blue print pembentukan densus tipikor polri.

Pertama, terkait dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta kewenangan yang nantinya dimiliki oleh densus tipikor polri. Hal ini memang menjadi salah satu point yang banyak dikritisi oleh berbagai penggiat anti koupsi, yang mana dikhawatirkan densus tipikor polri ini akan tumpang tindih dan menegasikan lembaga KPK, serta mereduksi peran yang ada di dalam tubuh lembaga Kejaksaan.

Secara materiil, tentu untuk menjamin efektivitas atau perananan densus tipikor polri, diperlukan pembatasan (limitasi) yang rigid dalam penanganan perkara korupsi yang akan ditangani. Hal ini dapat diidentikan dengan konsep distribution of power (pembagian kekuasaan), yang dalam arti bahwa selain nantinya fungsi koordinasi, supervisi dan sinergitas antar lembaga tetap dan harus lebih dioptimalkan, diantara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, akan tetapi setiap lembaga harus memiliki skala prioritas serta ukuran (batasan) perkara korupsi yang berbeda.

Artinya, KPK tetap dapat berjalan sesuai khittah dan marwah-nya, yakni menangani perkara korupsi yang massive dan secara kuantitas memiliki ukuran kerugian negara yang besar serta pada objek dan subject yang secara kualitatif berdampak sangat serius terhadap perekonomian negara, diantaranya perkara korupsi dalam bidang perbankan yang merugikan negara hingga triliunan rupiah, ataupun perkara korupsi pada bidang sumber daya alam (migas), di mana terdapat kebocoran APBN yang berdampak langsung terhadap perekonomian negara ataupun perkara korupsi (besar) lainnya.

Pararel dengan hal tersebut, densus tipikor polri dapat masuk ke dalam perkara korupsi di luar prioritas KPK sebagaimana dimaksud sebelumnya. Andaikata, terdapat garis singgung di dalam perkara yang sedang ditangani, maka fungsi koordinasi dan supervisi dapat berjalan. Pada tahapan ini tentunya masing – masing pihak harus dapat meminimalisir ego sektoral masing-masing lembaga, jikalau ingin penanganan perkara korupsi tersebut berjalan secara efektif dan simultan.

Adapun point penting lainnya yang menjadi banyak perbincangan, ialah terkait dengan bagaimana desain atau format lembaga dari densus tipikor polri ini ?

Jikalau melihat secara runtut, semenjak awal isu ini bergulir polri cukup konsisten untuk meletakkan format densus tipikor polri ini tetap sebagai bagian organ (internal) polri, yang sejatinya bukanlah membentuk lembaga baru di luar institusi polri, dan bukan juga untuk membentuk semacam lembaga tandingan dalam penanganan perkara korupsi. Hanya saja, dari dinamika yang berkembang, terdapat opsi yang diantaranya ingin agar densus tipikor ini memiliki akselerasi dan mobilitas yang tinggi dalam penanganan perkara korupsi.

Salah satu opsi yang dimunculkan dalam rangka efisiensi manajemen penanganan perkara misalnya, ialah dengan meletakkan fungsi penuntutan agar dibuat satu atap seperti hal-nya di KPK. Hal ini memang secara prinsip merupakan sebuah terobosan yang sekaligus dapat menjadi jawaban dari salah satu problem penanganan korupsi di tubuh polri. Mengingat ketika fungsi penuntutan tersebut berada dalam satu atap, atau dalam satu koordinasi institusi, maka akan meminimalisir proses penanganan perkara yang lama dan berlarut-larut, atau menghindari bolak – balik berkas perkara.

Namun, opsi ini juga tidak serta merta dapat diterima mengingat ketentuan perundang-undangan yang ada tidak memungkinkan mekanisme fungsi penuntutan satu atap diantara polri dan kejaksaan. Revisi peraturan perundang-undangan terkait-pun (harmonisasi dan sinkornisasi), rasanya juga terkesan dipaksakan, andaikata dilakukan.

Lebih lanjut yang menjadi perdebatan ialah ketika proses yang berjalan sama hal – nya dengan praktik penanganan perkara korupsi sebelumnya, tidak ada pembeda, lantas apa yang mengharuskan densus tipikor polri mendapat anggaran dan fasilitas (infrastruktur) yang lebih ‘mewah’ dari sebelumnya ? apakah yang menjadi jaminan pembentukan densus tipikor polri yang telah memakan biaya yang cukup besar, dapat berjalan efektif serta tidak mubazir (sia – sia) ?

Catatan kedua, ialah terkait dengan fungsi dan hal tekhnis yang nantinya ada di dalam densus tipikor polri. Lebih lanjut, perlulah diingat kembali bahwa kelemahan lembaga penegak hukum, selain KPK dalam penangan perkara korupsi, ialah karena tidak dapat melepaskan diri dari intervensi, baik dari kalangan internal maupun eksternal (vertikal), di dalam perkara korupsi. Selama ini, Kepolisian dan Kejaksaan sangatlah mudah terganggu independensinya dalam menangani perkara korupsi.

Ukuran efektivitas penanganan perkara korupsi yang menurut data kuantitatif sangatlah tidak mengembirakan, ketika perkara korupsi dilakukan oleh lembaga penegak hukum selain KPK, bukanlah karena kualitas (kinerja) dan profesionalitas dari aparatur penegak hukum, atau dalam hal ini pihak kepolisian (penyidik polri) yang tidak mampu dan mumpuni.

Justru sebaliknya, dengan aparatur dan infrastuktur yang ada dari pusat hingga ke daerah, serta kematangan dan pengalaman yang ada, rasanya penyidik polri memiliki kapasitas dan kapabilitas yang lebih baik di dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Melihat realitas tersebut, tentunya di dalam tekhnis operasionalisasi di dalam densus tipikor polri, perlu dibentuk sebuah atmospere secara ketat yang tidak memungkinkan ruang intervensi dari pihak manapun. Artinya, mekanisme control juga harus berjalan di dalam internal densus tipikor polri, selain dari bentuk pengawasan eksternal.

Bentuk pengawasan eksternal juga merupakan salah satu fungsi yang merupakan prioritas utama, mengingat besarnya infrastruktur dan suprastruktur yang dimiliki densus tipikor polri nantinya. Seyogyanya bentuk pengawasan yang dijalankan tidak hanya cukup dengan pengawasan internal melalui irwasum polri, propam polri, ataupun Kompolnas. Perlu ada sebuah mekanisme pengawasan integral dan holistik, yang akan menjaga agar densus tipikor polri berjalan tidak kebablasan, seperti yang banyak dikhawatirkan.

Hal lain juga yang dapat menjadi catatan, ialah jikalau memang pilihan akhir nanti tetap untuk meletakkan format densus tipikor polri sebagai organ (internal) polri, atau dengan kata lain sebagai pengembangan dari direktorat tipikor polri, maka SDM pelaksananya nanti, tidak juga serta merta merupakan duplikasi dari direktorat tipikor polri. Artinya, perlu ada re-reqruitment yang fair dan transparan agar pengisi jabatan ataupun pelaksana SDM (penyidik, personel polri) nantinya yang ada di densus tipikor polri, benar – benar merupakan SDM terbaik polri yang profesional, berkualitas dan berintegritas.

Pada akhirnya, publik menaruh harapan yang besar agar polri dapat secara nyata bersinergi (bukan berkompetisi) dengan KPK ataupun lembaga penegak hukum lainnya.

Melalui momentum ini diharapkan polri dapat menjawab sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat (public trust recovery) di dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Meskipun di menit – menit akhir (last minute) pembentukan densus tipikor akhirnya ditunda, namun dengan dukungan mayoritas dari parlemen (Komisi III DPR RI), rasanya tinggal menunggu waktu saja densus tipikor polri dapat segera terwujud (terealisasi), kita tunggu saja !

Dipublikasikan pada 29 Oktober 2017

Oleh :
Rio Chandra Kesuma, S.H., M.H., C. L. A.

Penulis ialah Peneliti, Praktisi (Penggiat) Hukum, Ketua IMMH UI, dan Tenaga Ahli (Profesional) DPR RI.

==================

CATATAN RIO CK (3) : BOLA PANAS PERPPU ORMAS

Jakarta – Kontroversi Perppu ormas kembali bergulir, kini polemik tersebut menyelimuti atmosfere parlemen (senayan).

Tepatnya, setelah draft Perppu ormas tersebut diterima oleh pimpinan DPR RI pada beberapa waktu yang lalu, dan kini pembahasan Perppu tersebut akan bermuara pada sidang paripurna yang akan berlangsung di akhir masa sidang (sebelum reses).

Pada sidang paripurna nanti, akan diputuskan melalui pandangan dari berbagai fraksi yang ada di DPR RI, untuk diambil keputusan, apakah Perppu ormas tersebut akan diberi persetujuan atau sebaliknya, hal mana sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.

ASPEK PROSEDURAL
Pada tahapan dan proses ini merujuk pada beberapa ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), Undang-Undang No. 17 tahun 2014 tentang MD3 (UU MD3) serta peraturan tekhnis lainnya, yang ada di dalam Tatib DPR RI, perlu diingat bahwa proses pembahasan dan pengesahan (persetujuan) sebuah Perppu dikecualikan dari mekanisme yang lazimnya terdapat pada proses pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU).

Nantinya, Perppu tersebut tidak mempersyaratkan (disertai) sebuah naskah akademis yang melatarbelakangi lahirnya Perppu tersebut (vide pasal 163 UU MD3 dan pasal 103 tatib DPR RI). Kemudian perlu diingat pula bahwa proses pembahasan nantinya juga tidak dapat mengubah substansi pokok dari Perppu ormas yang telah diterbitkan Presiden, artinya bagaimanapun proses yang berlangsung tidak akan dapat ‘mengutak-atik’ ikhwal ketentuan yang ada di dalam batang tubuh (pasal-pasal) pada Perppu tersebut.

Hal ini mengingat pengajuan Perppu pada prinsipnya dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perppu menjadi UU. Pointnya, bahwa DPR RI hanya memiliki ‘porsi’ dan ‘posisi’ untuk memberikan persetujuan atau menolak Perppu tersebut. Dengan implikasi bahwa Perppu tersebut akan ditetapkan menjadi Undang-Undang ketika disetujui, sebaliknya ketika tidak mendapat persetujuan, Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (vide pasal 52 UU PPP).

Pada tahapan ini, seyogyanya DPR RI dapat memangkas dalam arti mempersingkat tahapan tersebut, dari pembahasan tingkat I (pada Komisi II DPR RI) ke pembahasan tingkat II (dalam sidang paripurna DPR RI), untuk selanjutnya diambil keputusan dengan didahului pendapat (pandangan) lintas fraksi (partai politik) yang ada di DPR RI.

PROSES POLITIK vs PROSES HUKUM
Problematika yang takkala patut menjadi catatan, ialah bagaimana dengan proses hukum (contitusional review) yang juga sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK), di mana setidaknya terdapat 7 (tujuh) organisasi masyarakat yang sedang menguji konstitusionalitas Perppu ormas tersebut.

Secara normatif, baik proses hukum yang berjalan di MK maupun proses politik yang sedang berlangsung di DPR RI, tidaklah menyalahi ataupun bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada.

Justru proses yang sedang berjalan saat ini, merupakan amanat konstitusi dan undang-undang yang harus dijalankan. Di mana di satu sisi, DPR RI sesuai dengan perintah undang-undang harus (wajib) untuk memberikan persetujuan atau tidak pada masa sidang berikut(nya) setelah Perppu tersebut dikeluarkan oleh Presiden, sebaliknya Mahkamah Konstitusi semenjak menguji Perppu No. 4 tahun 2009 telah menjadikan Perppu sebagai objek perkara di MK, hal tersebut memiliki konsekuensi bahwa MK juga tidak dapat menolak ataupun menunda gugatan pemohon contitusional review yang diajukan oleh pemohon dalam sidang MK.

Kedua proses tersebut tentu dapat berjalan secara liniear, tinggal melihat nantinya keselarasan (menyesuaikan) dan kesesuaian waktu keputusan yang terlebih dahulu dikeluarkan, apakah DPR RI yang terlebih dahulu akan mengesahkan ataupun tidak memberi persetujuan terhadap Perppu tersebut melalui forum sidang paripurna, ataukah sebaliknya Mahkamah Konstitusi yang terlebih dahulu akan mengeluarkan putusan ikhwal konstitusionalitas Perppu ormas tersebut. Lantas, bagaimanakah implikasi dan kalkulasi dari kedua proses tersebut ?

SKEMA, KALKULASI DAN IMPLIKASI
Tentu, tidak menjadi persoalan ketika proses hukum di MK berakhir lebih dahulu, dalam arti telah memberi putusan ikhwal uji materiil gugatan terhadap Perppu ormas sebagaimana dimaksud. Dimana tentu, ketika MK nantinya memutuskan Perppu tersebut inkonstitusional, maka selaras dengan hal tersebut proses politik di DPR tidak dapat dilanjutkan untuk bersikap (mengambil keputusan) guna memberi persetujuan atau tidak. Tentu forum sidang paripurna nantinya sebagai representasi forum tertinggi lembaga legislatif harus menghormati putusan MK sebagaimana dimaksud, begitupun dengan pihak eksekutif (Presiden).

Konstruksi yang sama bilamana nanti MK memberi putusan bahwa Perppu tersebut dianggap sah dan konstitusional, hal mana berarti proses politik di DPR tetap akan dapat berlanjut, dan mengambil sikap yang pada satu sisi dapat bersesuaian (memberi persetujuan) dengan putusan MK ataupun sebaliknya berbeda dengan putusan sebagaimana dimaksud (tidak memberi persetujuan).

Skema berikutnya, ialah ketika MK nantinya memberi keputusan yang menyatakan bahwa hanya ada pada beberapa norma dalam Perppu ormas yang inkonstitusional, maka Perrpu ormas yang akan dibahas nanti di DPR RI, ialah Perppu ormas pasca putusan MK.

Lebih lanjut, kalkulasi yang cukup dilematis ialah ketika proses politik di DPR RI lebih dulu mengeluarkan keputusan melalui sidang paripurna; yang pertama bilamana memberi persetujuan, dan lantas Perppu ormas tersebut disahkan menjadi UU. Pararel dengan hal tersebut, implikasinya terhadap proses hukum di MK, maka akan ‘menggugurkan’ proses uji materiil yang sedang berjalan di MK, sebab Perppu tersebut telah disahkan menjadi UU, artinya Perppu tersebut sudah tidak ada (berlaku) lagi, yang berlaku tentu ialah UU yang menetapkan Perppu tersebut menjadi UU.

Hal ini tentu memiliki konsekuensi terhadap objek dari para pemohon uji materiil dalam Perppu ormas, yang sejatinya mendaftarkan gugatan/permohonan contitusional review tersebut terhadap Perppu ormas (objeknya). Artinya, para pemohon harus mendaftarkan ulang kembali (re-register) perkara ke MK dengan objek yang berbeda.

Namun, hal tersebut juga memiliki ‘sandungan’ terhadap prinsip nebis in idem yang dianut MK sebagaimana diatur di dalam Pasal 60 ayat (1) UU No. 8 tahun 2011, yaitu perubahan atas UU No. 24 tahun 2003 tentang MK. Di mana ketentuan tersebut menyebutkan bahwa prinsip (asaz) nebis in idem diterapkan terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan kembali. Jika mengacu terhadap ketentuan ini, maka besar kemungkinan gugatan/permohonan contitusional review terhadap Perppu yang telah disahkan menjadi UU tersebut tidak dapat diajukan kembali, serta tidak dapat diterima oleh MK.

Kalkulasi kedua (terakhir) yang juga cukup identik dengan konstruksi sebelumnya, ialah ketika Perppu ormas tersebut nantinya ditolak oleh DPR pada forum sidang paripurna, maka mengacu pada ketentuan Pasal 52 ayat (5), (6) dan (7) UU PPP, Perppu ormas tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku serta akan ditetapkan UU tentang pencabutan Perppu ormas tersebut.

Liniear dengan klausul tersebut, secara logis tentu perkara uji materiil di MK menjadi kehilangan objek(nya), MK pasti akan segera memutus permohonan tidak dapat diterima, karena objek gugatan/permohonan sudah tidak ada (berlaku) lagi.

Pada akhirnya, seiring waktu bergulir akan terlihat skema dan kalkulasi dari perjalanan panjang Perppu ormas, yang jelas ‘bola panas’ yang selama ini ada ditangan pemerintah, beralih ke tangan DPR dan MK.

Dipublikasikan pada 20 Oktober 2017

Oleh :
Rio Chandra Kesuma, S.H., M.H., C. L. A.

Penulis ialah Peneliti, Praktisi (Penggiat) Hukum, Ketua IMMH UI, dan Tenaga Ahli (Profesional) DPR RI.

================

CATATAN RIO CK (2) : URGENSI REVISI UU ADVOKAT : GUNA MEWUJUDKAN ADVOKAT YANG PROFESIONAL, BERINTEGRITAS DAN BERKUALITAS

Palembang – Bertepatan dengan digelarnya pelantikan dan pengambilan sumpah calon advokat di Palembang, Sumatera Selatan pada hari Selasa (10/10/2017), yang dilakuan oleh Organisasi Advokat dan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan, rasanya cukup ‘pas’ dan tidak berlebihan untuk sedikit memberikan catatan melalui ulasan tulisan singkat ini.

Dewasa ini, tantangan dan tuntutan di tengah era keterbukaan, modernisasi, perkembangan iptek dan tekhnologi, perdagangan (hubungan) bebas dan terbuka antar negara (multilateral), menjadi faktor pendorong yang sangat dominan bagi penyandang profesi advokat (secara personal) maupun organisasi advokat (secara general) untuk meningkatkan nilai (value) kompetensi dan profesionalisme(nya).

Saat ini, rasanya sudah sangat tidak relevan lagi memperdebatkan ikhwal polemik perpecahan dan perseteruan di dalam tubuh organisasi advokat. Perpecahan dan perseteruan di dalam tubuh organisasi advokat, maupun hal – hal lain yang masih menjadi catatan ‘hitam’ dan ‘kelam’ di dalam tubuh organisasi dan profesi advokat perlu diselesaikan dan diketengahkan dengan sebuah solusi jangka panjang yang holisitik dan komprehensif.

Secara umum, dalam perspektif yang luas, hal pokok yang cukup urgent dan mendesak ialah perlunya revisi terhadap produk hukum yang mengatur tentang Advokat, UU No. 18 tahun 2003 (UU Advokat) perlu ditinjau ulang kembali, sejak awal diundangkan hingga saat ini, produk hukum tersebut rasanya belum dapat menjawab tantangan dan tuntutan yang dihadapi oleh penyandang profesi advokat maupun oleh organisasi advokat.

Hal tersebut dapat dilihat dari survey di dalam penelitian yang dilakukan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH-UI (MaPPI FH-UI) pada tahun 2014, di mana harus diakui bahwa citra, stigma dan persepsi masyarakat terhadap penyandang profesi advokat sebagai aparatur penegak hukum (catur wangsa) masih sangat rendah dibandingkan dengan aparatur penegak hukum lainnya. Artinya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap advokat masih sangat minim (distrust).

Catatan tidak enak didengar ini tentu perlu menjadi sebuah koreksi sekaligus introspeksi bagi stakeholder terkait dalam dunia advokat, Organisasi Advokat di satu sisi dan penyandang profesi advokat di sisi yang lain.

Harus menjadi perhatian bagaimana stakeholder terkait menjamin dan terus berupaya meningkatkan standarisasi (mutu) penyandang profesi advokat, yang tidak hanya secara kuantitas, dalam arti banyaknya jumlah advokat, namun yang lebih penting juga perlu diimbangi dengan aspek kualitas dari setiap penyandang profesi advokat.

Persepsi, stigma dan citra yang kurang baik dan ‘tidak enak didengar’ tersebut dalam dunia profesi advokat, hanya dapat dijawab dengan jaminan pemenuhan penyandang profesi advokat yang berkualitas dan berintegritas, sehingga dapat menjalankan tupoksi-nya secara kompeten dan profesional.

Selanjutnya, urgensi revisi UU Advokat perlu diketengahkan juga sebagai solusi akhir dari kisruh dan polemik berkepanjangan yang ada di dalam tubuh organisasi advokat.
Meski dalam konteks kekinian, polemik perpecahan dan perseteruan di dalam tubuh organisasi advokat sudah sangat tidak relevan, namun pengaturan pola dan bentuk organisasi advokat yang baru, rasanya memang perlu diulas kembali.

Mau tidak mau, suka tidak suka, secara objektif dapatlah dikatakan bahwa penerapan ketentuan norma di dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, tentang ‘satu-satunya wadah profesi advokat (single bar association)’ yang ada saat ini, berjalan ‘gagal’ dan tidak sesuai dengan harapan awal (visi) penyatuan berbagai organisasi advokat sebelum adanya rezim UU Advokat.

Dapat dilihat bagaimana rentetan polemik perpecahan dan perseteruan di dalam tubuh organisasi advokat terjadi, yang awalnya diantara PERADI dan KAI, berlanjut juga dengan terjadinya dualisme kepemimpinan di dalam tubuh KAI, dan terakhir setelah Munas ke II PERADI, juga timbul perpecahan di dalam tubuh PERADI, sehingga muncul 3 (tiga) kepemimpinan dan kepengurusan PERADI. Rentetan polemik ini jelas sangat merugikan profesi advokat.

Dominasi dan monopoli yang dilakukan oleh satu-satunya organisasi advokat (single bar association) dari hulu hingga ke hilir, serta dwifungsi sebagai regulator sekaligus sebagai pelaksana (eksekutor), dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, memang tidak dapat berjalan sesuai harapan, serta tidak dilaksanakan secara konsisten.

Idealnya, lebih baik dikembalikan kembali seperti keadaan sebelum adanya rezim UU Advokat, dengan format baik itu multi bar ataupun federasi, dengan catatan terdapat satu lembaga pengawas, lembaga penguji (eksaminasi) dan satu lembaga standarisasi yang bersifat objektif dan mandiri serta memiliki visi (orientasi) untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, dengan mekanisme pengawasan yang ketat, penerapan kode etik yang tegas (strict) dan mengikat, serta reqruitment yang fair dan transparan.

Penulis, sebagai praktisi bidang legislasi DPR RI, yang juga turut terlibat di dalam proses pembahasan sedari awal ketika RUU Advokat dibahas pada periode 2014 yang lalu, juga memiliki pandangan untuk tidak memaksakan kehadiran Dewan Advokat Nasional (DAN), sebagai perpanjangan tangan pemerintah – sebagaimana diatur di dalam Pasal 36 – Pasal 53 RUU Advokat, hal mana yang justru akan dapat menganggu kemandirian (independensi) organisasi advokat, serta rawan intervensi (conflict of interest).

Seyogyanya, RUU Advokat yang hampir selesai dibahas pada periode yang lalu, dapat diteruskan oleh periode yang saat ini, ataupun setidak-tidaknya besar harapan agar kiranya RUU Advokat nantinya dapat masuk di dalam daftar prolegnas prioritas tahun 2018 mendatang.

Apapun nantinya yang dihasilkan di dalam perubahan (revisi) UU Advokat, semoga dapat membawa profesi advokat menjadi profesi yang sesuai dengan marwah dan khittah-nya sebagai officium nobile, profesi yang mulia dan terhormat.

Di akhir tulisan ini, tak lupa saya ucapkan selamat kepada para teman sejawat yang telah dilantik menjadi advokat, semoga kita dapat terus menjunjung tinggi integritas, kualitas dan profesionalisme sebagai advokat, salam !

Dipublikasikan pada 10 Oktober 2017

Oleh :
Rio Chandra Kesuma, S.H., M.H., C. L. A.

Penulis ialah Peneliti, Praktisi (Penggiat) Hukum, Ketua IMMH UI, dan Tenaga Ahli (Profesional) DPR RI.

===============

CATATAN RIO CK (1) : HAK ANGKET DPR TERHADAP KPK, SALAH ALAMATKAH ?

Jakarta – Hingar bingar kontroversi hak angket DPR terhadap KPK semakin berkembang. Dalam perjalanan panitia khusus (pansus) angket KPK yang telah bergulir, perdebatan ikhwal ‘legalitas’ pembentukan pansus KPK masih terus dipersoalkan.

Hal mana yang juga tidak dapat dihindarkan terjadi ketika pansus angket KPK menghadirkan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APTHN-HAN), Prof. Mahfud MD, pada Selasa (18/07/2017).
Secara pribadi (personal) Prof. Mahfud MD, maupun berdasarkan sikap resmi yang dinyatakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APTHN-HAN), yang notabene-nya ditandatangani oleh sekitar 132 orang pakar hukum tata negara seluruh Indonesia, dengan tegas menolak pembentukan pansus angket DPR terhadap KPK, yang dinilai secara substansif tidak pada tempatnya (salah alamat) ketika ditujukan kepada KPK, sehingga cacat yuridis (illegal dan inkonstitusional), serta secara prosedural juga tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan (cacat prosedural).

Menyikapi perdebatan dan dinamika tersebut, melalui ruang opini yang singkat ini, kiranya cukup menarik untuk kembali ditelisik mengenai subjek dan objek dari hak angket DPR itu sendiri, yang dinilai banyak kalangan salah alamat ketika ditujukan terhadap KPK (error in subject and object).

ASPEK SUBSTANTIF
Ketentuan mengenai hak angket DPR dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 79 UU MD3, yang mendefenisikan hak angket sebagai hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Pararel dengan ketentuan tersebut, tentu menjadi pertanyaan apakah lembaga KPK termasuk dalam domain (subjek) hak angket DPR ?

Persoalan inilah yang senyatanya menimbulkan banyak perdebatan, sebab banyak pihak yang berpendapat bahwasannya hal tersebut tidaklah masuk dalam domain (subjek) angket DPR, ketika lembaga yang dituju adalah KPK, dikarenakan KPK merupakan lembaga penegak hukum yang independent dan bebas dari pengaruh (intervensi) kekuasaan manapun.

Pada point ini dari silang pendapat yang terjadi, rasanya perlu dilihat kembali risalah pembentukan peraturan perundang-undangan (memorie van toelichting) yang terkait, diantaranya UU MD3 dan UU KPK. Hal tersebut bertujuan agar dapat menggali makna real (original intent) dari setiap bunyi pasal yang terkait.

SUBJEK HAK ANGKET DPR
Catatan pertama terkait dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 79 UU MD3 mengenai hak angket DPR tersebut, kiranya perlu dilihat kembali konstruksi norma yang ada di dalam bunyi pasal tersebut, di mana sesungguhnya terdapat 2 (dua) bagian pengaturan yang terpisah dan berdiri sendiri, yang mana dipisahkan oleh frasa dan/atau yang berarti option (pilihan) bersifat alterntif; yakni penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang di satu sisi, dan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting, strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di sisi yang lain.

Tentunya, apabila melihat bagian pertama dari konstruksi bunyi pasal tersebut, sudah barang tentu secara jelas KPK masuk dalam domain hak angket DPR. Sebab, dapat dilihat bahwasannya KPK lahir dari mandat Pasal 43 UU Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya terbentuk (sumber kewenangan yang diberikan) berasal dari UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK.

Konsekuensi pada point ini berarti KPK dapat dipandang sebagai subject dari hak angket DPR, dikarenakan KPK dibentuk oleh sebuah undang-undang.

Catatan selanjutnya ialah apabila masuk dalam perdebatan mengenai ‘tafsir’ ruang lingkup (kualifikasi) ‘pemerintah’ sebagaimana bunyi di dalam Pasal 79 UU MD3 beserta penjelasannya (yang menguraikan secara jelas kualifikasi pemerintah), serta dibenturkan dengan regulasi yang mengatur tentang kategori Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK), yakni Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2013, di mana pada Pasal 1 Perpres tersebut memberikan limitasi dan menyebutkan secara rinci 14 lembaga yang termasuk LPNK; yang mana sudah barang tentu tidak ditemukan lembaga KPK yang termasuk dalam kualifikasi ‘pemerintah’.

Menyikapi klausul di atas sesungguhnya perlu dilihat kembali doktrin ketatanegaraan yang mengenal pengertian (arti) pemerintah dalam arti sempit (pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintahan) dan pemerintah dalam arti luas (pemerintah yang menjalankan segala urusan kenegaraan).

Liniear dengan hal tersebut maka, ketika melihat pemerintah dalam arti sempit, akan hanya terbatas pada pemerintah dalam arti eksekutif (Presiden, Wakil Presiden, Polri, Jaksa Agung, dan lembaga pemerintah non-kementrian), hal mana sebagaimana tertuang pada penjelasan Pasal 79 UU MD3 dan Pasal 1 Perpres No. 4 tahun 2013.

Selanjutnya ketika melihat pemerintah dalam arti luas, maka tidak hanya terbatas pada tataran eksekutif, melainkan juga lembaga negara lain yang berbentuk komisi negara (independet), seperti hal-nya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lebih jauh mengenai hal ini, dapat dilihat kembali dengan menggali serta memahami hakikat KPK sebagai lembaga negara dan kedudukannya di dalam sistem ketatanegaraan.

OBJEK HAK ANGKET
Mengenai object hak angket, sejatinya hal ini juga berasal dari konstruksi akhir norma di Pasal 79 UU MD3, yakni disebutkan bahwa object hak angket ialah terkait dengan hal – hal yang bersifat penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Terkhusus mengenai point ini, rasanya perlu diulas secara konkrit dan faktual, dengan tidak hanya mendasarkan pada informasi pemberitaan sepihak dari berbagai sumber yang ada.

Object hak angket DPR terhadap KPK secara liniear, dapat dilihat dari alasan (latar belakang) hak angket DPR tersebut digulirkan.

Pada point ini secara real rasanya para pihak perlu melihat secara jelas materi apa saja yang menjadi alasan hak angket tersebut digulirkan. Secara gamblang hal tersebut (berdasarkan Pasal 199 ayat (2) UU MD3) dapat dilihat dari dokumen pengusulan hak angket yang memuat alasan dan materi penyelidikan dari pelaksanaan hak angket tersebut. Hal mana dokumen tersebut dibacakan secara terbuka oleh para pengusul (inisiator) hak angket dalam forum sidang paripurna DPR RI.

Dapat dilihat senyatanya bahwa opini publik yang berkembang hanya melihat pengusulan hak angket KPK tersebut didasarkan pada polemik pencabutan BAP dan rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani yang tersangkut dalam kasus E- KTP, namun senyatanya hal tersebut hanyalah bagian kecil dari beberapa beberapa point penting lainnya yang ada dalam alasan (materi) hak angket tersebut digulirkan.

Tentu, Object hak angket DPR terhadap KPK kali ini lebih menyoroti kepada hal ikhwal pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK. Dan sudah barang tentu, ikhwal Korupsi merupakan sesuatu hal yang sangat penting dan strategis serta memiliki dampak yang luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Melihat proses yang telah berjalan hingga saat ini, tentu tidak pada tempatnya mengatakan bahwa sebenarnya hak angket terhadap KPK salah alamat, dalam arti memenuhi unsur error in subject dan error in object, atau dengan kata lain subjek dan object yang dituju tidak tepat.

Sesungguhnya rangkaian proses pengusulan hak angket, hingga saat ini telah terbentuk panitia khusus angket KPK, telah melewati proses dan prosedur yang benar (legal dan konstitusional), sehingga juga tidak pada tempatnya untuk melihat bahwa hak angket DPR tersebut sebagai bentuk intervensi terhadap proses hukum (perkara) korupsi yang ada di KPK.

Dipublikasikan pada 19 Juli 2017

Oleh :
Rio Chandra Kesuma, S.H., M.H., C. L. A.

Penulis ialah Peneliti, Praktisi (Penggiat) Hukum, Ketua IMMH UI, dan Tenaga Ahli (Profesional) DPR RI.

Bagikan ke :
Share on Facebook Share on Google+ Tweet about this on Twitter Email this to someone Share on LinkedIn Pin on Pinterest

BERITA TERKINI

INVESTIGASI

BERITA SEBELUMNYA

BANYU ASIN 14-March-2024, 23:59

DUA ASN DI BANYUASIN JADI TERSANGKA 

PAGAR ALAM - 14-March-2024, 23:45

PJ.WALIKOTA PAGAR ALAM GELAR SHOLAT TARAWIH DI GRIYA TEGU WANGI

BANYU ASIN 14-March-2024, 22:42

PJ BUPATI BANYUASIN SAFARI RAMADHAN 1445 H 

MUBA - 14-March-2024, 22:17

Pemkab Muba Terima Kunjungan Ombudsman RI Sumsel 

BANYU ASIN 14-March-2024, 19:13

RUMAH SINGGAH DINSOS DI RESMIKAN PJ BUPATI BANYUASIN 

BANYU ASIN 14-March-2024, 19:12

FORUM KONSULTASI PUBLIK RKPD DIBUKA PJ BUPATI BANYUASIN 

LAHAT - 14-March-2024, 18:42

Polres Lahat Berikan Bantuan Sembako Untuk Purnawirawan dan Warakauri 

PALEMBANG - 14-March-2024, 18:18

Ungkap Jaringan Narkoba Terbesar, Polda Sumsel Terima Penghargaan Lemkapi 

MUBA - 14-March-2024, 17:45

PJ Sekda Muba : Survei Seismik diharapkan Mampu Serap Tenaga Kerja Lokal 

MUBA - 14-March-2024, 17:35

Bantu Umak Dicairkan, Pj Bupati Apriyadi Buat Emak-emak Sumringah Saat Bulan Puasa 

PALEMBANG - 14-March-2024, 15:07

AKBP Yenni Diarty SIK Jabat Kasat Lantas Polrestabes Palembang 

LAHAT - 14-March-2024, 15:01

Subbid Penmas Polda Sumsel Tampung Tuntutan LSM GEMPUR 

OKU - 14-March-2024, 13:31

Buka Puasa Bersama Dirut PT. SSP, Serahkan Bantuan Dana Operasional & Perbaikan Masjid

LAHAT - 14-March-2024, 10:36

Team SERGAP Kota Lahat Ungkap Kasus Curas 

PALEMBANG - 13-March-2024, 21:52

Kapolda Sumsel menerima Audiensi Kakanwil BPN Provinsi Sumsel 

BANYU ASIN 13-March-2024, 19:13

PEMDA BANYUASIN ATASI BANJIR NORMALISASI SUNGAI GASING 

MUBA - 13-March-2024, 18:10

Pj Bupati Apriyadi Buka Pasar Beduk, Spot Baru Dongkrak UMKM di Muba 

MUARA ENIM - 13-March-2024, 16:27

Sat Narkoba Polres Muara Enim Ringkus ‘GP’ Bandar Narkoba

OKU - 13-March-2024, 16:14

Ini Harapan Pj. Bupati OKU Pada Direktur PDAM Tirta Raja OKU Yang Dilantik,

MUBA - 13-March-2024, 16:11

Eksekutif – Legislatif Setujui Jadwal Pembahasan LKPJ TA 2023 

OKU - 13-March-2024, 15:32

Pasar Beduk Baturaja Merupakan Tradisi Positif Sejak Lama.

MUBA - 13-March-2024, 13:51

Pj Bupati Apriyadi Fasilitasi Mudik Lebaran Gratis ke Muba 

BANYU ASIN 13-March-2024, 13:49

PASAR BAZAR MURAH DIGELAR DI TALANG KElAPA 

LAHAT - 12-March-2024, 23:59

Hari Pertama Puasa, Pangdam II/Sriwijaya Buka Bersama Dengan Anak Panti dan Forkompinda Lahat 

LAHAT - 12-March-2024, 23:59

Polres Lahat Gelar Patroli Stasioner Gabungan 

CATATAN SRIWIJAYA

  • Catatan Sriwijaya 26-November-2023, 22:50

    DETERMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM

    Oleh Burmansyahtia Darma,S.H.

    Muara Enim - Pemilihan Calon Legislatif atau yang trend nya Calon Anggota D

APA dan SIAPA

FACEBOOKERS SRIWIJAYA ONLINE